MEMBAKAR PENYAMUN*
Cerpen Resna J Nurkirana**
Sepasang
matanya tengah disaput kekosongan. Sekarang Bapak nampak asing dan menyedihkan.
Semenjak
peristiwa itu sering diberitakan, aku terus mencari kebenaran. Mencari jawaban
atas kesedihan yang Bapak rahasiakan. Barangkali, kesedihan Bapak datang dari tuduhan
orang-orang. Katanya Bapaklah yang menyebabkan kematian seorang begal.
Sekarang
Bapak jadi lebih sering murung dan memilih mengurung dirinya di kamar. Kesedihan Bapak atas kepergian Ibu belum selesai, tapi peristiwa ini, jelas telah membuat Bapak
semakin terguncang. Begitu hebat upaya
Bapak mempersiapkan diri menghadapi kematian Ibu, sementara untuk
tuduhan-tuduhan ini, ia sama sekali tak pernah menduga dan tak mempersiapkan apa-apa. Maka
Bapak seolah ditimpa kesedihan yang lebih mengerikan. Bapak jadi sulit kuajak
bicara. Ia semakin sering
bersembunyi dan menatap jauh ke langit-langit
Luka yang Bapak sembunyikan
dalam kantung matanya, aku yakin hanya kekecewaannya pada keadaan. Aku mencoba
bersikap wajar, tapi pembicaraan orang-orang tentang Bapak tak juga berakhir.
Maka sembunyi-sembunyi, aku mengikuti kemana pun desas-desus itu berembus.
Mencari setiap cerita tentang seorang begal yang mati, juga seseorang yang
telah membakarnya.
Aku mencari keterangan dari
cahaya yang masuk lewat atap rumah, mencari kebenaran dari angin yang membisik
melalui celah jendela, dari suara-suara
yang selalu membawaku kembali
menghadapi kesedihan bapak, juga dari kabut, yang akhir-akhir ini sering
menyelimuti kampungku ketika malam semakin larut.
Sejak kesedihan
Bapak, sore hari hujan selalu turun dan tak membiarkan anak-anak
bermain petak umpet atau pun egrang. Suara tawa dan tangis mereka jadi jarang terdengar, begitu pula
suara gaduh para peronda. Kampungku mendadak senyap.
Tapi sepertinya orang-orang masih terus saling berbisik dan menuduh.
Bukan di sini. Melainkan di ruang lain, jauh di dalam kepala mereka. Di sebuah
ruang kedap suara.
Kesunyian di kampung ini justru
menjelma jadi suara-suara paling bergemuruh dalam kepalaku. Begal itu
ditangkap. Diarak orang banyak. Sambil diseret, orang-orang terus memukulinya.
Mereka memotong jari tangan
begal itu agar dengan begitu, ia
tak bisa lagi memasukan apa-apa yang ada di dunia ini ke dalam
mulutnya. Begal itu berteriak-teriak memohon ampun, tapi amarah orang-orang tak
juga mereda.
Penyiksaan itu tak juga
berhenti. Orang-orang merentangkan tangan begal itu dan hendak memotongnya.
Tapi Bapak tiba-tiba masuk ke dalam kerumunan. Bapak menyiramkan bensin lalu
melemparkan korek api yang karenanya tubuh begal itu terbakar, hangus dan mengenaskan.
Begitulah gemuruh itu
menyampaikan cerita yang sesungguhnya padaku.
Hari
ini aku mendengar mayat begal itu akan dipulangkan dari rumah sakit ke rumah
duka. Maka aku tak berpikir lama. Aku bergegas untuk melihatnya. Tiba di sana,
orang-orang telah berkerumun dan berdesakan. Barangkali mereka ingin mendapat
posisi paling baik untuk melihat mayat seorang begal yang dibakar.
Aku
mendesak masuk. Tiba di dalam rumah, aku dikagetkan dengan anak kecil yang
tengah menjerit-jerit memanggil bapaknya. Ketika aku duduk dan menundukkan
wajahku untuk berdoa, anak itu menangis lebih keras, meronta meminta pada orang-orang
agar bisa membangunkan bapaknya. Aku menahan sesak luar biasa. Anak itu
tiba-tiba membuka kain yang menutupi wajah bapaknya. Sebuah wajah yang kemudian
membuat orang-orang mengernyit dan memalingkan muka.
Dari
orang-orang yang saling membisik, aku mendengar anak itu telah lama ditinggal
mati oleh ibunya. Aku tak bisa bayangkan jika anak ini harus tetap menjalani
kehidupan dengan sebagian miliknya yang telah hilang, bahkan hampir seluruhnya.
Jeritan anak itu tak urung reda. Malah kini betul-betul membuat aku terpukul.
Aku sekarang mengerti ketakutan macam apa yang telah Bapak sembunyikan di balik
kantung matanya. Di sini, Bapak nyatanya telah menciptakan sebuah kehidupan
yang begitu mengerikan, kesedihan seorang anak penyamun, yang hanya dengan
kematian ia akan hilang.
Aku langsung
berpikir untuk melakukan apa yang Bapak lakukan. Akan kutumpahkan bensin pada
sekujur tubuh anak itu. Disusul dengan korek api yang akan menyulut habis rasa
sakitnya. Nanti, aku hanya akan melihat kesedihan anak itu semakin lama semakin
menguap.
Bapak
pasti lega mendengar apa yang akan aku lakukan. Lalu setelahnya, aku akan
memiliki mata serupa Bapak; disaput kekosongan, asing dan menyedihkan.
Februari
2015
*Begal Orang yang menyamun, Merampok, merampas
dimuat di harian Pikiran Rakyat 22 November 2015