Di pengujung Juli tahun ini, aku mencoba kembali menulis.
Tidak lagi tentang masa silam, tapi tentangmu. Sebab Tuhan telah pilihkan kamu.
Barangkali saat ini, bahumu akan menjadi satu-satunya tempat yang aku cari
ketika kelelahan. Dan senyumanmu, dan segala permohonanmu kepada Tuhan
tentangku, adalah dua hal yang akan sangat aku butuhkan.
Hari ini, aku ingin menuliskan cara Tuhan mempertemukan kita.
Agar kelak waktu tak lantas menghilangkan apa-apa yang sempat singgah. Aku
ingin cerita kita bersemayam di sini. Di ingatanku. Juga di ingatanmu.
Dua puluh dua Desember dua ribu empat belas adalah kali
pertama aku melihat wajahmu secara langsung. Beberapa minggu sebelumnya, kamu
menghubungiku melalui pesan singkat. Pesan pertama, kamu mengenalkan diri.
Pesan berikutnya, kamu menyampaikan maksud untuk bertaaruf. Aku langsung
bertanya dari mana kamu mengenalku. Dari teman, katamu.
Aku mengatakan padamu bahwa aku tidak punya niat untuk
menikah dalam waktu dekat. Masih kuliah dan ingin melanjutkan sekolah. Lantas
kamu tetap mengatakan bahwa kamu bisa menunggu. Kamu begitu meyakinkan. Saat
itu kamu memiliki rencana untuk menemuiku jika aku bersedia. Akhirnya aku mencari
tahu data dirimu lebih jauh melalui sosial media terlebih dahulu.
Pernah berkuliah di UPI, jurusan Pendidikan Agama Islam,
lulus tahun 2011, tinggal di Garut dan sedang mengajar di Riau. Informasi
tersebut akhirnya membuat aku berani menceritakan tentangmu pada ibuku. Ibu
bilang, aku tidak boleh bertemu denganmu jika tidak di rumah. Maka aku
memintamu untuk datang ke rumah jika ingin bertemu.
Beberapa minggu setelah pesan pertama itu, kamu datang ke
rumahku selepas magrib dengan pakaian basah karena hujan. Sebelum kamu datang,
aku hanya memberi tahu Bapak bahwa ka nada seseorang yang bertamu.
Di ruang tamu, kamu mengenalkan diri setelah sebelumnya ibuku
terlebih dahulu menyimpan oleh-oleh yang kamu bawa. Ada hal yang mengesankan
saat itu, selama berbincang panjang lebar dengan Bapak, kamu lebih banyak
menundukan pandanganmu. Matamu sayu. Bicaramu begitu santun.
Bapak akhirnya memberikan kesempatan padamu untuk berbicara
denganku. Setelah kita bercerita tentang satu dua hal, akhirnya kita sama-sama
terdiam dan kamu tiba-tiba bertanya. Jadi bagaimana, katamu.
Aku tak lantas mengerti pertanyaanmu. Sebab aku mengira kamu hanya datang untuk
mengenalkan diri secara langsung. Kamu lalu mengutarakan bahwa kamu bersungguh-sungguh
untuk bertaaruf dan meminta jawabanku saat itu juga. Kamu memintaku kembali
memanggilkan orangtuaku, kemudian kamu menyampaikan maksud utamamu ke rumahku
kepada keduanya. Bapak begitu terkejut, pun dengan Ibu. Mereka sama sekali tak
mengira bahwa arah pembicaraanmu seserius itu. Bapak akhirnya meminta waktu
agar aku bisa memikirkannya terlebih dahulu.
Kamu pamit pulang. Meninggalkan sebauah pertanyaan yang
begitu asing.
Saat itu, hal pertama yang aku pikirkan adalah seseorang
yang tengah begitu dekat denganku. Malam itu aku ingin menghubunginya. Ingin
membicarakan banyak hal, tapi dia menolak. Katanya dia sibuk dengan urusan
kuliah. Keesokan harinya bapak memintaku untuk memikirkan pertanyaanmu
matang-matang dan segera mengambil keputusan. Bapak mengatakan, kamu lelaki
baik. Lantas aku menangis di hadapan ibu. Ia bertanya, apa yang membuat aku
ragu menerimamu. Lelaki itu, kataku. Aku terlanjur menyusun harapan baik untuk
bisa bersama lelaki itu kelak. Bagaimana dengannya, apa ia juga mempunyai
harapan yang sama denganmu, ibu bertanya demikian. Entah, aku bilang pada ibu
aku tidak tahu. Lantas Ibu semakin yakin bahwa aku seharusnya tidak memiliki
alasan untuk menolakmu. Sebab menurutnya, hal penting dalam mencari pendamping
hidup adalah memilih seseorang yang bersedia membimbing kita menjadi
seseorang yang lebih taat.
Aku juga meminta pendapat kepada sahabatku. Ia mengatakan
hal yang sama dengan ibu. Ia juga menyuruhku untuk menyerahkan segala urusan
kepada Tuhan. Saat itu, shalat istikharah belum juga membuat aku genap
menentukan pilihan. Aku memberanikan diri menceritakan tentangmu pada
lelaki itu. Kamu tahu jawabannya? Ia mengatakan bahwa semoga kamu adalah
seseorang yang memang Tuhan pilihkan untukku. Begitu kurang lebih. Aku menangis
saat itu. Sebab nyatanya keinginan kita kadang-kadang memang tak sejalan dengan
rencana Tuhan.
Aku menyerahkan keresahanku saat itu kepada Tuhan. Ia yang
telah mengirimkanmu secara tiba-tiba. Maka melalui istikharah aku benar-benar
meminta petunjuk-Nya.
Jjika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku,
duniaku, akhiratku, dan agamaku, maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah
untukku, dan berkahilah ia untukku. Jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini
tidak baik untuk agamaku, hidupku di dunia, dan hidupku di akhirat, maka palingkanlah
ia dariku dan palingkanlah aku darinya. Dan jadikanlah aku ridha atas semua
yang telah Engkau takdirkan kepadaku.
Saat itu akhirnya aku memberimu jawaban melalui pesan
singkat dengan perasaan yang masih ganjil. Aku menerimamu. Kamu memanjatkan syukur,
kemudian mengingatkanku tentang tiga hal. Niat, ilmu, dan kesiapan untuk saling memperbaiki diri. Saat itu
kita mesti segera meluruskan niat menikah hanya untuk mencari keridhaan-Nya.
Kita mesti mulai mencari ilmu lebih banyak tentang pernikahan, sebab kita tahu
menjalani peran setelah menikah bukan perkara mudah. Kita juga mesti segera
memperbaiki diri agar lekas pantas di hadapan Tuhan ketika dipersatukan.
Beberapa hari setelah aku memberikan jawaban, kamu kembali
ke rumah untuk membicarakan rencana berikutnya. Kamu datang ke rumah dengan
kembali membawa makanan dan sebuah novel. Saat itu kamu sudah mengetahui bahwa
aku begitu tertarik pada literasi.
Di ruang tamu, kita akhirnya memutuskan untuk melaksanakan
khitbah pada bulan Juni 2015. Kita juga membuat beberapa kesepakatan yang kita
tulis di sebuah kertas. Tidak menghubungi jika tidak ada hal penting dan
mendesak. Tidak bertemu tanpa ditemani makhrom. Membaca minimal tiga referensi
buku tentang pernikahan. Menghadiri pengajian minimal satu kali dalam seminggu.
Menghadiri seminar-seminar pernikahan. Dan menikah setelah sidang atau wisuda.
Adalah sulit, menunggu bulan Juni dengan harus menjalani
kesepakatan yang telah kita buat. Aku sering merasa bahwa Tuhan begitu giat
memberi ujian. Perasaan ragu, datangnya lelaki lain, keinginan untuk
melanjutkan sekolah lagi, dan ujian lainnya yang pada akhirnya hanya membuat
aku semakin lalai memantaskan diri.
Beberapa kali aku meminta Ibu dan sahabat-sahabatku utuk
meyakinkan aku bahwa semuanya harus aku teruskan. Sampai akhirnya kita bertemu
kembali pada bulan Juni dua ribu lima belas. Ada yang tidak baik-baik
saja. Aku memang tidak menyesali acara khitbah itu, tidak juga merasa
sedih. Hanya saja seharusnya saat itu aku merasa sangat bahagia, tapi aku tidak
mampu merasakan apa-apa.
Akhirnya aku memasrahkan perasaanku kepada Tuhan.
Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa Tuhan telah mengatur semuanya. Ia lebih
mengetahui apa-apa yang baik untuk makhluk-Nya.
Selepas khitbah, kita akhirnya memulai penantian selama satu
tahun menuju pernikahan. Beberapa kesepakatan bisa aku jalani dengan mudah,
tapi beberapa yang lain begitu sulit. Jika aku melakukan kontak dengan lelaki
lain tanpa ada hal mendesak, perasaan bersalah akan muncul dan begitu
mengganggu. Perasaan ragu pun semakin lama semakin akut. Akhirnya aku
mengalihkan keraguan itu dengan terus mendatangi seminar-seminar pernikahan
yang bisa meyakinkan hatiku bahwa kamu adalah lelaki terbaik yang Tuhan
pilihkan. Membaca banyak buku yang akhirnya menyadarkanku bahwa kehidupan bukan
hanya persoalan mengurus perasaan, melainkan perjalanan untuk menghilangkan
jarak dengan Tuhan.
Selama satu tahun penantian, kamu jarang
menghubungiku, pun sebaliknya. Sesekali kamu hanya menelepon orang tuaku untuk
bertanya kabar. Selebihnya aku yakin kau tengah sibuk memperbaiki diri,
sedangkan aku hanya sibuk memohon kepada Tuhan agar aku mampu menata hati
dengan baik.
Semakin mendekati hari pernikahan, perasaanku belum juga
berubah. Perasaan yang semestinya mulai ada, belum juga aku rasakan. Akhirnya
aku terus mencari banyak hal yang bisa meyakinkanku agar tidak mengundurkan
diri dari kesepakatan yang terlanjur kita buat.
Dari Abu Hurairah r.a. “Sesungguhnya Allah Swt. pada
hari kiamat berfirman: Di manakah orang-orang yang saling mencintai demi
keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku pada
hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits tentang cinta yang aku temukan pada akhirnya
membuat aku yakin untuk menyempurnakan separuh agamaku dan memperbaiki cintaku
kepada Tuhan dengan cara menikah denganmu.
Dua ribu enam belas. Undangan, dekorasi, ketring, dan semua
hal yang mesti disiapkan untuk pernikahan lebih banyak diurus oleh ibu dan bapak, sebab aku begitu sibuk mengurus skripsi dan kekhawatiran.
Pada awal Juni, skripsiku akhirnya selesai. Aku mendapat tanda tangan dua dosen pembimbing dengan mudah. Sehingga dua puluh dua Juni aku bisa mengikuti sidang dan kemudian dinyatakan lulus.
Tiga belas Juli. Hari pernikahan itu tiba. Aku menikah denganmu, seseorang
yang hanya aku temui beberapa kali. Satu-satunya lelaki yang berani menemui
keluargaku secara langsung, mendekatiku dengan cara meminta kepada Tuhan
terlebih dahulu, menjagaku dengan penjagaan terbaik melalui doa-doa yang kamu panjatkan. Lelaki
yang akhirnya membuat aku yakin bahwa cinta yang semestinya kita perjuangkan
adalah cinta kita kepada Tuhan dan cinta Tuhan kepada kita.
Sekarang, setelah menikah denganmu aku tidak harus lagi
menyusun halaman-halaman skripsi, aku mulai menyusun perasaan demi perasaan
yang entah apa namanya. Setelah setahun lebih bergelut dengan rasa ragu, pada
akhirnya Tuhan tetap menginginkan aku menetap sebagai perempuanmu.
Semoga sekarang mataku adalah sebaik-baik tempat ketika kamu
pulang.
Riau, 2016