Essay Resna J Nurkirana
link cerpen rumah yang terang
Akan menjadi sia-sia ketika kita harus
mencari berbagai macam penjelasan untuk kemudian kita jadikan sebagai acuan
dalam membuat sebuah pengelompokan atau pendikotomian. Seperti halnya para
sufi, mereka tidak lagi mengelompokan seperti apa ahli surga dan seperti apa
ahli neraka. Para sufi yang menjalankan ilmu tasawuf akan lebih fokus mencari
cara untuk bisa benar-benar mencintai Tuhannya. Pun dengan karya sastra,
barangkali kurang bijak jika kita menyelami suatu karya sastra hanya untuk
mengelompokkan atau menentukan jenis sebuah tulisan. Mencontoh para sufi,
seharusnya seorang penulis atau pembaca tidak perlu lagi dibingungkan dengan
penamaan sebuah karya, melainkan disibukkan dengan pencarian makna dan hal-hal
yang lebih bermanfaat lainnya. Hanya saja, pengelompokkan sebuah karya sastra
memang sering kali menjadi sebuah perdebatan kecil di kalangan penikmatnya.
Sastra
Sufistik
Proses yang dijalankan oleh para sufi
dalam mencari cinta Tuhannya berpotensi besar melahirkan sebuah dorongan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk karya. Karena para sufi
biasanya menggunakan tamsil atau simbol-simbol dalam mengungkapkan gagasan dan
pengalaman rohaninya, maka karya yang dibuat oleh para sufi biasanya berupa musik,
tarian, gaya arsitektur, dan tentu saja karya sastra.
Karya sastra yang paling dekat dengan
para sufi biasanya puisi. Namun tidak
menutup kemungkinan para sufi juga menulis karya sastra lain seperti hikayat,
cerpen, dll. Jelas kiranya jika kita menemukan sebuah karya sastra yang
berhubungan dengan keesaan Tuhan dan ditulis oleh seorang sufi maka karya
tersebut dapat kita sebut sebagai sastra sufistik.
Sastra sufi ini sendiri berkembang
pada abad ke 8 dimana para penyair sufi mulai banyak dikenal seperti Rabi’ah al
adawiah, imam al-ghazali, Jalaluddin Rumi dll. Di Indonesia sendiri Hamzah
Fansuri, Syamsudin Sumatrani, dan K.H Hasan Mustafa ialah para sufi yang aktif
menulis puisi.Yang menjadi permasalahan adalah jika kita menemukan puisi atau
cerpen yang berisi tentang pengalaman tokoh seperti ekstase, kerinduan, dan
persatuan mistikal dengan Yang Transenden, namun penulisnya bukan seorang sufi,
apakah karya tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sastra sufi? Atau jika ada
seorang sufi menulis cerita mengenai hal-hal berbau politik dan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan Tuhan apakah tulisannya tetap dinamakan sastra sufi?
Sederhananya, penyebutan sastra sufi
apakah bergantung pada siapa yang menulisnya atau apa yang dtulisnya?
Aprinus Salam dalam bukunya Oposisi
Sastra Sufi (2014:4) menyatakan bahwa sastra sufi ialah karya sastra yang
mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan,
prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta
derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika kita mengamini
pendapat Aprinus, maka jelas terjawab bahwa suatu karya sastra disebut sastra
sufi jika mengandung prinsip-prinsip yang disebutkan di atas.
Abdul Hadi WM (1985) sendiri menyebutkan
beberapa tokoh sastrawan yang menulis sastra sufi diantaranya para prosaik
seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji,
Sapardi, dll. Meskipun tokoh-tokoh yang disebutkan di atas tidak dikenal
sebagai seorang sufi, namun sebuah sumber menyebutkan bahwa mereka juga
mempelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius termasuk
menerjemahkan beberapa karya penyair sufi. Kecenderungan
sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada
penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha
Ainun Nadjib. Kesimpulannya, penyebutan sastra sufi bukan dilihat dari siapa
penulisnya tapi apa yang ditulisnya.
Sastra Profetik
Lantas
bagaimana dengan sastra profetik? Beberapa minggu lalu saya mendengar seseorang
menyatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menyinggung ramalan tentang
masa depan, beberapa lagi menyamakan profetik dengan sufistik, beberapa yang
lain menganggap bahwa sastra profetik merupakan sebuah kajian.
Kuntowijoyo
dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etik dan
Struktur Sastra menyatakan bahwa sastra profetik ialah sebuah
karya sastra yang mencerahkan. Lebih
jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot
transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Sehingga ia
menyebut sebuah sastra dengan sebutan profetik apabila karya tersebut berisi
tentang hal-hal yang mengajak manusia menuju kebenaran, melanjutkan tradisi
kerasulan.
Untuk
profetik ini saya mengkaji sebuah cerpen berjudul “Rumah Yang Terang” karya
Ahmad Tohari. Cerpen ini mengisahkan seorang anak yang harus menerima cemoohan
tetangganya dikarenakan keputusan Ayahnya yang menolak untuk memasang listrik.
Keputusan Ayahnya telah merugikan dua tetangga yang berada di belakang
rumahnya. Alhasil ayah dari tokoh aku dituding sebagai orang yang bakhil atau
seorang pemelihara tuyul. Tokoh aku yang merasa sangat terganggu dengan gunjingan warga akhirnya
memberanikan diri untuk menanyakan alasan Ayahnya tidak mau memasang listrik.
Seperti kutipan di bawah ini.
Pernah
kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang
maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih
di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba
berhenti.
“Jadi
kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku
menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang
listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan
kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh
yang lebih menyakitkan.
Jawaban Ayah dari tokoh aku yang masih disembunyikan oleh penulis
membuat pembaca bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi alasan tokoh ayah
enggan memasang listrik. Penulis pun memberikan jawaban pada akhir cerita
dimana jawaban tokoh ayah pada mulanya mengecewakan saya sebagai pembaca.
“Ayahku
memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila
cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku
khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di
dalam kubur”.
Jika ditilik kembali, tokoh Ayah memang seseorang yang begitu
relijius. Hal ini ditandai dengan seringnya ia berdzikir dengan tasbih.
Keputusan tokoh Ayah untuk tidak memasang listrik cenderung mengarah pada
seseorang yang mendalami ilmu tasawuf. Dalam Jurnal Sajak (2011:42) Abdul Hadi
WM menyatakan bahwa para sufi biasanya menolak terikat pada dunia dan tidak
menyukai materialisme. Listrik bisa disebut sumber dari segala bentuk
materialisme. Televisi, radio, laptop, handphone semunya dibantu untuk hidup
dengan listrik. Sekilas dapat disimpulkan bahwa tokoh Ayah memang menyerupai
para sufi. Namun Abdul Hadi WM juga melanjutkan dalam esaynya, meskipun sufi
menolak materialisme, para sufi tetap mencintai kemanusiaan dan keindahan
dunia, karena alam kejadian dan kemanusiaan merupakan manifestasi daya cipta
dan cintaNya. Keputusan penulis untuk menyimpulkan bahwa tokoh Ayah tidak
menghendaki listrik dikarenakan agar mendapat cahaya di alam kubur, cenderung
memunculkan sikap tokoh Ayah yang hanya mementingkan diri sendiri. Mengabaikan
keluhan dua tetangganya yang berada di belakang rumahnya. Sehingga jawaban
Ayahnya yang menyatakan demikian saya rasa telah mematahkan pendapat bahwa
ayahnya mencoba menjalani ilmu tasawuf.
Yang perlu digarisbawahi ialah, untuk menentukan sebuah cerpen apakah sufistik atau profetik bukan hanya dilihat dari identitas atau watak tokoh, melainkan tema, isi, dan tujuan penulis. Jika kita mengkaji lebih jauh, justru unsur profetik lah yang begitu mendominasi.
Listrik barangkali diibaratkan sebagai sumber dari segala cahaya. Bahkan cahaya listrik mampu membuat bulan tak lagi bermakna di mata orang-orang. Keputusan tokoh ayah untuk menolak listrik agar tidak kekurangan cahaya di alam kubur bisa jadi memiliki maksud bahwa listrik sebagai sumber cahaya bisa saja menyita waktu hidupnya untuk hal-hal yang mudarat dan melupakan akhirat. Artinya, cahaya di alam kubur yang dimaksud tokoh ayah bukan cahaya dalam makna sebenarnya melainkan keselamatan kubur.
Dalam essaynya Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menentang moderenisitas dan sastra yang mampu memanusiakan manusia (amar maruf). Cerpen Rumah yang Terang menjelaskan kepada pembaca bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia. Manusia sejatinya diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhannya, hanya saja arus moderenisasi yang menjadikan IPTEK sebagai kebutuhan manusia telah membuat manusia lupa untuk apa sebenarnya manusia diciptakan.
Dari pemaparan di atas, maka akan ditarik kesimpulan
bahwa cerpen Rumah yang Terang bisa disebut sastra profetik. Sastra yang
menunjukan nilai-nilai transenden. Sastra profetik lebih membawa pencerahan dan tidak melulu
sibuk mengurus hablumminallah (melangit) tetapi juga hablumminannas (membumi). Dalam cerpen ini kita tidak digiring kepada
suatu hal yang bersifat meng-esa-kan Tuhan dan sebagainya. Penulis lebih fokus
pada bagaimana seharusnya kita hidup di dunia, bagaimana seharusnya bersikap
kepada orang tua, tetangga, dan bagaimana cara kita menyikapi perkembangan zaman.
Setelah mengkaji cerpen Ahmad Tohari, saya menyimpulkan bahwa sastra sufistik dan profetik jelaslah
memiliki perbedaan. Sastra sufistik lebih bersifat spesifik sedang profetik
lebih luas lagi karena di dalamnya bukan hanya membahas Ketuhanan melainkan
kemanusiaan, pencerahan jiwa dan pencerahan
sosial. kemudian
bagaimana dengan sastra religius?
Semua
karya sastra pada hakikatnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
keagamaan maka bisa disebut sastra religius. Lagi pula jika melihat kembali
konsep dulce dan utile sastra memang sudah seharusnya membawa nilai-nilai
kebaikan atau pun kebenaran. Sehingga, sastra profetik dan sastra sufistik
tentu saja akan masuk kedalam kelompok sastra religius.
Mengelompokkan karya sastra pada
akhirnya cenderung sia-sia. Seperti yang dikemukakan oleh Suno Wasono dalam
Jurnal Sajak (2011:92) bahwa menggolong-golongkan karya ke dalam mazhab-mazhab
atau aliran merupakan suatu pekerjaan yang sulit bahkan mustahil untuk
dilakukan karena kenyataannya batas-batas antara aliran tidak pernah tegas. Hal
ini juga barangkali berlaku untuk menggolongkan apakah karya tersebut masuk ke
dalam karya sufistik, profetik, atau relijius. Sederet mazhab bisa saja
dikemukakan, tetapi ketika ciri itu dihadapkan langsung pada karya, akan
ditemukan suatu kenyataan lain yang membuat kita harus berpikir ulang.
*disampaikan di reboan Asas UPI 16 Juli 2014