Di langit kadang
kau temukan keanehan. Selarik putih yang bukan awan, bukan sinar. Seperti garis
lintas, yang tak jelas ujung dan asalnya.
Ada dan hilang. Bergetar sayu dari jauh, dan mendekat-hingga aku bisa
melihat-berjuta kepak sayap kecil. Berkerumun. Berpencar. Lalu luruh seperti
keeping-keping salju.
Berapa banyakkah
kupu-kupu di negeri ini?
Malam masih
keras. Hujan turun deras. Dari tepi kota, angin menderitkan besi-besi yang
sekarat. Bunyi itu mengiris, menyelinap di sisi kepala orang-orang yang
bergegas pulang, pergi, atau sekadar menghindari detak tajam ujung hujan di
kepala. Mereka mengeluh karena terpaksa berteduh. Tapi hujan baik untuk menyeka
yang lusuh: daun-daun, trotoar, gang-gang kumuh, atap-atap seng, dan jendela-jendela.
Satu terbuka tiba-tiba. Tak penuh, hanya selebar siku. Di baliknya, seorang
gadis berdiri. Sinar kuning merkuri lampu jalan menyelinap malas ke kamar itu.
Ia mendesah
panjang. Hari ini tubuhnya perih. Tidak, ia bukan lemah, hanya lelah. Tapi aku
tak mengeluh, bisiknya-mungkin pada ambang yang mengelupas cahaya di sana-sini.
Setiap orang toh harus menjual sesuatu untuk bertahan hidup. Sebagian menjual
mimpi, sebagian menjual peluh. Ia menjual mimpi berpeluh. Itu sah saja di dunia
di mana setiap orang akan mengambil apa yang mereka butuhkan.
Dan ia tak malu,
meski tetap akan berdusta. Lebih memalukan bila tak punya apa-apa untuk dijual.
Tak ada juga yang benar-benar menyukai kejujuran. Sesungging senyum getir
mengambang-mungkin buat korden yang tak lagi punya warna. Jangan ragu untuk
berdusta, katanya, bukankah dongeng dan negeri para peri pun adalah kejujuran?
Lalu ia tertawa
parau. Dibentangnya jendela. Dikenakan sayapnya yang koyak di tepi, dan
terbang. Angin dan air seketika menghambur. Dingin, meski urung menggigilkan.
Dia menari di antara biru dan titik-titik ungu. Bintang jatuh dan butir salju.
Tubuh itu seketika kuyup. Di bawahnya, kota yang becek dan brengsek bergerak
tak peduli memendarkan cahaya yang tak henti menggaris, menembus hujan. Debu
yang lepas dari udara melapisi semua dengan kelabu.
Tapi ia menolak
kelabu. Juga semua putih. Telah dikenakannya merah pada bibirnya dan jingga
pada kedua peluh kuku kaki dan tangannya. Dia memulas hijau pada kelopak mata,
juga jambon pada tinggi tulang pipinya. Lalu keluar menyusur gelap. Penuh
warna, tak lagi putih. Bukankah aku cantik, tanyanya. Angin meniupkan
siulan-siulan iseng mengiyakan. Lebih dari cantik, kamu menggoda.
Gadis itu
melayang dan menari, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Terkepak,
meski berat dan basah. Ia menari melintasi jalan layang dan mobil terbang, juga
kolong jembatan, lalu berhenti – tersangkut pada cabang-cabang asam keranji
yang telanjang. Mungkin satu dari sedikit yang tersisa di dalam kota. Di bawah
kakinya, bayang-bayang yang kecil berkelebat cepat seperti hantu.
Tapi
dia menolak kelabu. Juga semua putih. Telah dikenakannya merah pada bibirnya
dan jingga pada kedua puluh kuku kaki dan tangannya. Dia memulas hijau pada
kelopak mata, juga jambonpada tinggi tulang pipinya. Lalu keluar menyusur
gelap. Penuh warna, tak lagi putih. Bukankah aku cantik, tanyanya. Angin
meniupkan siulan-siulan iseng mengiyakan. Lebih dari cantik, kamu menggoda.
Gadis itu
melayang dan menari, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Terkepak,
meski berat dan basah. Ia menari melintasi jalan layang dan mobil terbang, juga
kolong jembatan lalu berhenti – tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang
telanjang. Mungkin satu dari sedikit yang tersisa di dalam kota. Di bawah kakinya,
bayang-bayang yang kecil berkelebat cepat seperti hantu.
***
Di
kota ini, aku bukan satu-satunya.Aku tak tahu berapa banyak, meski kami saling
tahu. Tapi bila malam mulai turun dan birahi naik, tangan-tangan hitam akan
melepaskan kami, menghambur keluar dari celah-celah kota yang sempit dan tak
pernah sama. Kenakan topeng kalian, teman. Malam ini kita berpesta. Kota ini
tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar