“Tanda-Tanda
Kebinatangan Manusia dalam Cerpen Kupu-Kupu
Karya
Avianti Armand”
A.
PENDAHULUAN
Bahasa
merupakan sistem tanda. Tanda merupakan sesuatu yang dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Ketika kita menyebut kupu-kupu
maka pikiran kita akan mengarah pada sebuah hewan bersayap indah. Medium
karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyi pada seni musik atau warna
pada lukisan (Pradopo, 2012:121). Warna dan bunyi belum memiliki arti sebelum
digunakan untuk berkarya, tetapi bahasa sudah memiliki arti meski belum
dimasukkan ke dalam karya sastra. Kupu-kupu dalam sebuah karya sastra bisa jadi
bukan mengarah pada gambaran hewan seperti yang kita pikirkan, tapi mengarah pada seorang perempuan yang
masyarakat sebut pelacur. Begitulah kata dalam karya sastra memiliki fungsi
tanda. Di masyarakat, pelacur lebih dikenal dengan sebutan kupu-kupu malam. Dalam
novel ini Avianti Armand menceritakan tokoh pelacur yang ia umpamakan sebagai
kupu-kupu dengan sayap koyak dan warna pelangi.
Setelah
dianalisis, cerpen ini tidak cukup hanya dikaji dengan menggunakan struktural.
Diksi dan perumpamaan yang diungkapkan pengarang bersifat multitafsir. Maksud
pengarang tidak dapat dimengerti secara menyeluruh jika analisis cerpen ini
hanya berpaku pada unsur-unsur di dalam teks. Maka dari itu cerpen ini memerlukan
pengkajian tanda-tanda.
B.
TEORI
SEMIOTIKA
Secara
definitf, menurut Paul Cobley dan Lizta Janz (2002:4) semiotika berasal dari
kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain
menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang berarti tanda. Dalam
pengeritan lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis
mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa
manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda,
dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan menjadi efisien, dengan
perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus
mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia
adalah homo semioticus (Ratna, 2013:97).
Kehidupan
manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah system
tanda. Menurut North (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir
hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali jika diinterpretasikan
sebagai tanda. Lebih jauh Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika
termasuk ilmu imperialistic, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang
yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer (Ratna, 2013:112).
Nyoman
Kutha Ratna (2013) melanjutkan bahwa bahasa metaforis konotatif, dengan hakikat
kreatifitas imajinatif, merupakan faktor utama mengapa karya sastra didominasi
oleh system tanda. Sebagai akibat kemampuan sastra dalam menjelaskan
tanda-tanda, maka dapat ditentukan ciri-ciri dominan periode tertentu, misalnya
pandangan dunia dan ideologi kelompok, jenis hegemoni yang sedang terjadi, dan
berbagai kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat, yang secara objektif
sulit dideteksi.
C.
TANDA-TANDA
KEBINATANGAN MANUSIA
Mencari makan, berkembang biak, tumbuh, dan memiliki
nafsu merupakan kesamaan yang dimiliki manusia dan binatang. Perbedaan yang
paling mendasari keduanya ialah akal dan pikiran. Akal dan pikiran ini yang
akhirnya membawa manusia menempati posisi sebagai makhluk yang lebih tinggi
derajatnya dibandingkan makhluk lain. Hewan mengandalkan instingnya untuk
melakukan sebuah tindakan. Berbeda halnya dengan manusia yang selalu berpikir
untuk melakukan sesuatu, baik atau buruk selalu dijadikan pertimbangan. Ketika
manusia tidak menggunakan akal dan pikirannya maka muncul istilah bahwa manusia
memiliki tanda-tanda kebinatangan.
Tanda-tanda kebinatangan manusia ialah munculnya
sikap atau perilaku binatang pada seorang manusia. Dalam cerpen Kupu-kupu,
manusia digambarkan layaknya binatang. Ketika lapar, binatang akan melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan makan. Binatang bisa saja mencuri, membunuh,
atau bertarung sedangkan dalam cerpen ini manusia dikisahkan mencari makan
dengan cara menjual diri dan menjual orang lain.
D. KAJIAN
1.
Sinopsis
Cerpen kupu-kupu mengisahkan seorang perempuan yang berprofesi sebagai
pelacur. Perempuan itu seolah dilahirkan tanpa memiliki sebuah pilihan. Ia
dibeli oleh seseorang seharga nasi. Kini perempuan itu tidak bisa pergi dari
kehidupannya yang terlanjur hitam. Setiap malam ia menjajakan dirinya di jalan,
datang ke rumah pelanggan, dan selalu pulang membawa uang dan setumpuk dendam.
Perempuan itu menganggap kota yang ditempatinya serupa hutan berisi
binatang-binatang yang butuh hiburan. Ia menceritakan suatu malam ketika harus
menemui babi-babi, sekelompok anjing hutan, dan serigala tua di sebuah rumah
besar.
Meski kemungkinan menemukan
kebahagiaan itu sangat kecil, perempuan yang menyebut dirinya sebagai kupu-kupu
tersebut tetap memiliki sebuah harapan.
2.
Luruhnya Sifat Kemanusiaan
Simbol-simbol yang menyamakan
kota dengan hutan, manusia dengan hewan, pelacur dengan kupu-kupu, lelaki
hidung belang dengan babi atau anjing, bisa jadi merupakan maksud pengarang
untuk menggambarkan keadaan yang ada di masyarakat saat ini. Dimana manusia
tidak lagi menggunakan akal dan pikirannya ketika akan melakukan sesuatu. Dalam
cerita kupu-kupu, tanda-tanda
kebinatangan manusia digambarkan dengan adanya proses jual beli bayi perempuan
untuk dijadikan pelacur. Manusia telah benar-benar kehilangan hakikatnya
sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya. Ketika seorang ibu rela menjual
anaknya untuk sesuap nasi, maka sifat-sifat kemanusiaannya perlu dipertanyakan.
Ketika manusia tidak bisa
melawan hawa nafsunya dan cenderung selalu ingin memuaskan birahinya maka
manusia tidak lagi memiliki perbedaan dengan binatang. Babi-babi, anjing hutan,
serigala tua yang diceritakan sebagai pelanggan tokoh perempuan tidak lagi
memikirkan dosa dan perasaan istri-istrinya.
3.
Sembolisasi Peristiwa
Di langit
kadang kau temukan keanehan. Selarik putih yang bukan awan, bukan sinar.
Seperti garis lintas, yang tak jelas ujung dan asalnya. Ada dan hilang.
Bergetar sayu dari jauh, dan mendekat – hingga aku bisa melihat – berjuta kepak
sayap kecil. Berkerumun. Berpencar. Lalu luruh seperti keping-keping salju.
Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri
ini?
Paragraf di atas
merupakan imajinasi tokoh pengarang yang menceritakan langit dan keanehannya.
Keanehan yang dimaksud pada paragraf tersebut di atas adalah munculnya sebuah
garis berwarna putih yang melintas, bergetar kemudian mendekat. Diksi garis lintas tesebut mungkin ditunjukkan untuk kepak sayap yang ada di kalimat selanjutnya. Jadi keanehan di
langit tersebut menggambarkan adanya jutaan kepak sayap yang kemudian jatuh ke
bumi. Kepak sayap itu lantas diperjelas dengan munculnya kalimat –Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sayap yang dimaksud adalah sayap kupu-kupu.
Simbolisasi peristiwa
di atas bisa jadi dimaksudkan untuk menganalogikan kemunculuan para perempuan
malam. Seperti yang telah kita kenal di masyarakat, sebutan kupu-kupu malam
ditujukan untuk seorang perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks
komersial. Pengarang menggambarkan para perempuan tersebut dilahirkan ke muka
bumi untuk menjadi pelacur yang tidak jelas ujung dan asalnya. Mereka tidak tahu oleh siapa dilahirkan dan
tidak tahu kepada siapa akan kembali. Perumpamaan -luruh seperti keping-keping salju- menggambarkan
bahwa jumlah pelacur di negeri ini sudah tidak terhitung lagi.
Setiap orang toh harus menjual
sesuatu untuk bertahan hidup. Sebagian menjual mimpi, sebagian menjual peluh.
Ia menjual mimpi berpeluh. Itu sah saja di dunia di mana setiap orang akan
mengambil apa yang mereka butuhkan. Dan ia tak malu, meski tetap akan berdusta.
Lebih memalukan bila tak punya apa-apa untuk dijual.
Maksud paragraf di atas ialah pembenaran yang
diungkapkan pengarang mengenai seseorang yang harus menjual diri. Menjual diri
dalam paragraf tersebut disimbolkan dengan menjual mimpi berpeluh. Menjual
mimpi dianggap lebih baik daripada tidak memiliki apapun untuk dijual.
Tapi bila malam mulai turun dan
birahi naik, tangan-tangan hitam akan melepaskan kami, menghambur keluar dari
celah-celah kota yang sempit dan tak pernah sama. Kenakan topeng kalian, teman.
Malam ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur.
Maksud kalimat Tapi
bila malam mulai turun dan birahi naik- ialah malam digambarkan sebagai waktu dimana manusia memiliki keinginan
lebih untuk memuaskan nafsu seksualnya. Tangan-tangan
hitam akan melepaskan kami- Saat malam tiba para perempuan itu akan
dipersilahkan keluar untuk bekerja. Malam
ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur-.
Pengertian berpesta dalam kalimat
tersebut bukan merayakan sesuatu dengan jamuan makan atau minum, melainkan
melayani para lelaki hidung belang yang membutuhkan hiburan dari perempuan
malam.
Dikenakannya sayap yang koyak di tepi, dan terbang. -Sayap yang koyak di tepi bisa diartikan sebagai
pakaian yang perempuan itu kenakan untuk bekerja atau semangat yang terpaksa ia
tumbuhkan setiap malam hanya untuk bertahan hidup.
Gadis itu melayang dan menari, dengan sayap sedikit koyak
dan warna pelangi. Terkepak, meski berat dan basah. Ia menari melintasi jalan
layang dan mobil terbang, juga kolong jembatan, lalu berhenti – tersangkut pada
cabang-cabang asam kranji yang telanjang.
Paragraf di atas menceritakan
saat perempuan tersebut mulai berjalan mencari pelanggan. Berat dan basah- bisa jadi menunjukan sebuah ketidakikhlasan dan
kesedihan perempuan tersebut. Lalu
berhenti, tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang telanjang. Maksud dari kalimat tersebut bisa
jadi menceritakan si perempuan behenti berjalan lalu teringat tentang kehidupannya
yang kelam.
Anak nakal, bentaknya, sambil memukuli pantatku.
Berkali-kali. Anak nakal, dampratnya, sambil melecuti punggungku. Berkali-kali.
Anak nakal, desahnya, sambil menembusiku. Berkali-kali. Dengan mata terpejam
dan seringai tanpa gigi. Aku akan pura-pura memohon. Ampun. Ampun. Ia akan
segera usai dan jatuh tertidur. Sesudahnya, aku harus menyelimutinya.
Paragraf
di atas menceritakan adegan-adegan yang dilakukan si perempuan saat bekerja. Ia
harus melayani pelanggannya sebaik mungkin. Ia selalu menuruti apa yang
diperintahkan. Hal terpenting adalah ia mendepat upah setelahnya.
4.
Simbolisasi binatang
3.1 Kupu-kupu
Tapi aku bukan anjing, cuma
kupu-kupu, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Anjing-anjing tak akan
bisa melukaiku. Tidak dengan buntut yang terselip di sela kaki belakang, dan
lidah yang selalu terjulur. Aku akan terbang, sebelum mereka sempat menyalak.
Kupu-kupu yang dimaksud pada
paragraf tersebut ialah seorang perempuan yang bekerja sebagai pelacur. Hal ini
diperkuat dengan pengakuan tokoh aku sebagai berikut.
3.2
Babi-babi
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal
babi-babi dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk. Babi-babi akan menyukai
apel-apel kecil di dadaku.
Babi-babi itu merupakan sebutan tokoh aku untuk para
pelanggannya yang kaya dan rakus.
1.3 Anjing
hutan
Tak jauh dari situ, selemparan
tulang saja, akan kautemukan rumah-rumah anjing – tersembunyi di balik belukar
yang berduri. Hati-hati. Duri-duri itu pernah merobekku, membuatku tak utuh
lagi. Kau dengar lolongan itu? Anjing-anjing hutan akan tak sabar menanti saat
bermain. Mereka bilang kuda-kudaan. Kubilang, ini anjing-anjingan.
Sama halnya dengan babi, anjing juga merupakan pelanggan
tokoh perempuan. Perbedaannya terletak pada tempat tinggal. Babi-babi tinggal
di pohon raksasa sedangkan anjing-anjing tinggal di sebuah rumah. Hal tersebut
menandakan bahwa anjing-anjing itu tidak lebih kaya dari babi hutan, hanya saja
anjing itu lebih berbahaya karena memiliki istri yang bisa melukai si perempuan
kapan saja.
3.4 Serigala Tua
Lalu hinggap di sebuah rumah besar tengah hutan. Di sana
telah menunggu seekor serigala tua yang telah kehilangan hampir semua giginya.
Serigala
tua adalah sebutan bagi pelanggan tokoh perempuan yang sudah tua tetapi sangat kaya.
Hal ini diperkuat dengan kalimat yang menceritakan bahwa si perempuan selalu
mampu membeli sekeranjang roti dan apel untuk sebulan setelah melayaninya.
5.
Simbolisasi Benda
4.1 Merah, jingga, hijau, dan
jambon.
Telah dikenakannya merah pada bibirnya dan jingga pada kedua
puluh kuku kaki dan tangannya. Dia memulas hijau pada kelopak mata, juga jambon
pada tinggi tulang pipinya.- Kupu-kupu Avianti Armand
Dalam
paragraf di atas penulis tidak menggunakan nama objek secara langsung melainkan
sifat dari objek itu sendiri. Misalnya diksi merah yang mengacu pada alat
kosmetik bernama lipstick, jingga
yang mengacu pada kuteks, warna hijau
yang mengacu pada blash on, dan diksi
jambon yang mengacu pada shadow. Gaya
penceritaan tersebut merupakan upaya penulis untuk mempertahankan estetika dan
kelirisan bahasa yang sudah dibangun dari awal cerita.
4.2 Apel-apel kecil
Babi-babi akan menyukai apel-apel kecil di dadaku.
Apel-apel kecil yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah puting payudara
si perempuan. Hal ini dikarenakan perumpamaan apel tersebut mengarah pada
hal-hal berbau seksual.
4.3 Sabun dan sepatu kaca
Kau akan sanggup membeli sabun wangi sesudahnya, dan
sepasang sepatu kaca
Sabun
wangi dan sepatu kaca memiliki pengertian segala kebutuhan si perempuan untuk
menunjang kehidupannya.
2.
Simbolisasi Tokoh
4.1
Seorang Ibu
Pada suatu ketika yang mungkin, seorang ibu
yang bukan ibunya menarik tubuh mungilnya dari debu. Di matanya ada teduh. Apa
maumu, tanya gadis kecil itu. Ibu mengernyit
Seorang ibu itu merupakan tokoh protagonis yang
hadir dalam mimpi si perempuan. Ibu tersebut kemudian mengajarkan banyak hal.
Tentang tawa dan lupa misalnya.
4.2
Peramal Buta
Ibu
tadi menoleh padanya dan menggeleng. Tawa tak selamanya tulus dan lupa akan
menggerogotimu. Suatu ketika tawa akan jadi air mata, dan lupa membolongi
kepalamu. Tubuhmu akan kosong seperti mayat. Jika terlena, kau takkan bisa
kembali. Tapi kau harus berdiri, dan katakan: Aku mau Peramal Buta!
Dalam cerita sebelumnya, Ibu tersebut menawarkan
sebuah sirkus yang akan membuat si perempuan tertawa bahagia. Tapi Ibu itu juga
mengingatkan bahwa tawa akan jadi air mata dan lupa akan menggerogotinya.
Artinya kebahagiaan hanya akan datang sementara. Setelah itu Ibu tadi meminta
si perempuan untuk berteriak tentang peramal buta. Peramal buta diceritakan
selalu melihat lebih jernih dari mata. Peramal buta bisa jadi diartikan sebagai
perumpamaan dari hati. Hati manusia terkadang selalu tahu mana yang baik dan
mana yang salah. Hati juga sesekali bisa menebak sesuatu yang akan terjadi.
Mungkin karena itulah penulis mengumpamakan hati dengan peramal buta.
4.3
Tangan-tangan hitam
Aku
ingin pergi. Entah dalam gelembung sabun. Entah dengan sapu terbang. Tidak
lewat pintu, tentu. Tangan-tangan hitam akan menahanku. Tak boleh pergi, kata
mereka, tubuh ini milik kami sejak kamu berupa bayi yang kami beli dengan nasi.
Kamu berhutang, tangan-tangan hitam akan berseru. Aku telah membayar dengan
tubuhku, protesku. Seumur hidupku.
Tangan-tangan hitam yang dimaksud penulis ialah
orang yang telah membeli si perempuan untuk dijadikan pelacur. Hitam identik
dengan kotor dan dosa. Maka penulis menganalogikan para germo dengan
tangan-tangan hitam, tangan-tangan yang penuh dengan dosa.
3.
Simbolisasi Alam
5.1 Hutan
Kota ini? Aku menyebutnya: Hutan
ini. Lihat, lihat. Awan tersangkut di pucuk-pucuknya dan ribuan kunang-kunang
telah terbang. Dengar, dengar, suara-suara purba itu. Binatang-binatang telah
bangun dan kini lapar. Aku akan terbang dan singgah di tiap tempat yang
menyebut namaku.
Tokoh aku mengumpamakan
kota yang ditempatinya sebagai hutan yang pernuh dengan kunang-kunang dan
binatang lapar. Ia memilih hutan karena hutan jarang dihuni oleh manusia.
Sedang di kota tempat ia tinggal, manusia tak ubahnya seperti binatang, tidak
berakal dan berperasaan. Banyak manusia yang rela melakukan apa saja untuk
memenuhi kebutuhan perut dan duniawinya.
5.2 Pohon Raksasa
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal babi-babi dengan tubuh
tambun dan lemak bertumpuk.
Dikarenakan tokoh aku
menganggap kota sebagai hutan. Maka rumah-rumah pelanggannya dianalogikan
dengan pohon-pohon raksasa.
3.3
Mimpi
Angin
tiba-tiba bertiup, meluruhkan bintang-bintang yang seketika jadi arang begitu
menyentuh tanah. Dalam sesaat yang tak sampai dua detik, kudengar namaku
disebut. Aku menoleh, dan di depanku, sebuah jalan setapak telah terbentuk.
Dengan batu-batu hitam di antara pohon-pohon yang membungkuk.
Deskripsi yang menggambarkan
peristiwa alam itu merupakan mimpi yang dialami tokoh perempuan. Pengarang
dengan lihai menggambarkan mimpi dengan fenomena alam yang mustahil terjadi.
E.
Simpulan
Dalam cerpen ini, pengarang seolah-olah ingin
mengungkapkan bahwa seseorang yang memilih profesi sebagai pelacur tidak
sepenuhnya bersalah. Kesalahan berawal dari hilangnya rasa kemanusiaan dan
munculnya sifat-sifat kebinatangan dalam diri seseorang. Hal itulah yang
menyebabkan tokoh aku harus menjalani kehidupannya yang begitu menyedihkan. Dengan
bahasanya yang liris dan satir, pengarang mampu memunculkan empati pembaca
kepada tokoh aku. Tokoh yang seakan-akan menjadi korban dan tidak memilki
pilihan. Tokoh yang digambarkan sangat anggun bak kupu-kupu terbuang.
Penulis mampu menghadirkan tema
yang maindstream dengan gaya yang
berbeda dan berani. Tanda-tanda yang dibuat oleh penulis kerap memunculkan
pertanyaan dan membuat pembaca berpikir. Cerpen Kupu-kupu merupakan karya sastra dengan tanda-tanda yang tidak
biasa.