Antara Alegori Atau Realita
oleh
Resna J Nurkirana
Abstrak : Puisi
atau sajak merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya
perlu dianalisis sehinga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara
nyata (Pradopo, 2012:14). Puisi memiliki unsur-unsur pembentuk makna yang
menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Puisi
“Buat
Anna Politkovskaya” karya Bode Riswandi memiliki daya tarik dari berbagai segi, misalnya dari
pemilihan diksi, gaya bahasa dan teka-teki yang terkandung di dalamnya. Untuk
benar-benar memahami setiap unsurnya secara keseluruhan, diperlukan sebuah
pengkajian terhadap puisi tersebut dengan menggunakan teori struktural semiotik.
Kata kunci : Struktur, fenomenologis, heuristik,
heurmeunetik, mimetik.
2009, Bode Riswandi
Buat
Anna Politkovskaya
Salju
yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam
peluru makarov yang dilempar
Seseorang
ke dada dan kepalamu.
Lantas
orang-orang bernyanyi untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim
di lobang senjata.
Di
checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis
ketakutan menjalar di dinding dan di kanal.
Aku
menatap jauh ke langit kelabu, namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar
peristiwa.
Aku
bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
yang punah.
Di
jalan-jalan, di tenda-tenda salju turun lebih kerap dari sebelumnya.
Tapi
nama-nama yang terkuras air matanya lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna.
Aku
bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika
burung-burung terbang ke dasar waktu.
Dan
beratus pasang biji mata di giring ke arahmu.
Salak
anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja
lari dari langit kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna.
Mungkin
rahasia atau kabar yang sederhana.
2009, Bode Riswandi
A.
PENDAHULUAN
Ricoeur
dalam Faruk (2012:45) mengatakan bahwa karya sastra menjadi wacana yang tidak
bertuan, terpisah dari kenyataan sosial, dan tidak diarahkan pada orang atau
kelompok orang tertentu yang ada dalam situasi dan kondisi produksinya.
Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh usaha Swingewood yang mencoba
membangun pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial. Ia kemudian
menggunakan teori mimesis dari plato yang mengatakan bahwa dunia dalam karya
sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan
tiruan terhadap dunia ide. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya
sastra yang di dalamnya merupakan rekaan dari sebuah realitas, tidak bisa lepas
dari unsur-unsur yang berada di luar strukturnya.
Puisi
dikatakan berstruktur karena ia adalah sebuah keseluruhan yang terbangun dari
unsur-unsur yang saling berhubungan di dalamnya (Faruk, 2012:132). Teori
analisis struktural memandang bahwa karya sastra berdiri otonom, merupakan satu
kesatuan yang utuh, bulat, dan mencukupi dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa teori struktural murni melepaskan sajak dari penyair dan
masyarakatnya. Padahal menurut Teeuw dalam Pradopo (2012:125), sebuah sajak
(karya sastra) tidak hadir atau tidak dicipta dalam kekosongan budaya. Sebuah
karya sastra tidak terlepas dari pengarang yang menuliskannya. Pengarang tidak
terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran, atau pandangan dunia pada zamannya
ataupun sebelumnya. Juga tidak lepas dari kondisi sosial budayanya. Semuanya
itu tercermin dalam karyanya, tercermin dalam tanda-tanda kebahasaan dan
lainnya.
Puisi “Buat Anna Politkovskaya”lahir dari seorang penyair kelahiran tasik
bernama Bode Riswandi. Pertanyaan yang pertama kali muncul ketika membaca puisi
tersebut adalah identitas seseorang bernama Anna Politskovskaya. Jika hanya
menganalisis keterkaitan unsur yang berada di dalam karya, kita bisa mengambil
kemungkinan bahwa Anna adalah sosok imajiner yang diciptakan Bode yang digambarkan
mengalami beberapa peristiwa tragis selama hidupnya. Tapi jika kita berpijak
pada teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa puisi lahir dari
kondisi sosial budayanya, bahwa puisi merupakan tiruan dari realita, akan ada
kemungkinan bahwa Anna bukan semata-mata tokoh rekaan yang Bode ciptakan dari
pikirannya, melainkan tokoh yang benar-benar ada dan hidup di masyarakat.
Melalui pendekatan fenomenologis yang menganalisis setiap unsur di dalam karya
dan pendekatan mimetik yang menghubungkan karya dengan realita, diharapkan
maksud dari puisi Bode dapat dipahami secara menyeluruh.
B.
KAJIAN
Pada
pendahuluan telah disinggung bahwa sajak merupakan sebuah struktur tanda-tanda
yang bermakna. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa sebuah karya sastra dapat
dianalisis secara otonom tanpa mengaitkannya dengan pelbagai hal di luar karya.
Dalam
Pradopo (2012:14) dijelaskan bahwa karya sastra itu tak hanya meruapakan satu
sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata atau lapis norma. Norma
itu sendiri menurut Rene Wellek (1968:150-151) jangan dikacaukan dengan
norma-norma klasik, etika, ataupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai
norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra
dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan
(Pradopo, 2012:14).
Berikut
akan dipaparkan terlebih dahulu analisis struktur dengan menggunakan analisis
strata norma Roman Ingarden.
Menurut
Pradopo (2012:16) lapis bunyi dalam sajak ialah semua satuan bunyi berdasarkan
konvensi bahasa tertentu, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Hanya saja
pembicaraan lapis bunyi dalam sebuah puisi difokuskan pada bunyi-bunyi yang
bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang mempergunakan efek puitis atau nilai
seni. Sajak “Buat Anna Politskovskaya” memiliki beberapa bunyi yang terdengar
berirama seperti tertuang pada baris pertama, /Salju yang runtuh dari rambut kelabumu/. Baris tersebut didominasi
oleh asonansi huruf u yang menyebabkan
puisi tersebut terdengar merdu. Kemudian pada baris ke tujuh, /Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma
bangsa yang punah/ terdapat alterasi huruf h yang menimbulkan suasana pilu dan mencekam.
Hal
ini akan berkaitan erat dengan pemilihan diksi yang ada dalam puisi tersebut.
Jika saja puisi ini tidak memerhatikan keselarasan bunyi, bisa saja diksi rambut kelabumu diganti menjadi rambut
berubanmu atau misalnya diksi punah
diganti menjadi hilang atau mati. Hal
tersebut membuktikan bahwa setiap unsur sajak biasanya saling melengkapi. Diksi
yang dipakai akan memerhatikan keindahan bunyi agar menimbulkan irama yang
padu. Namun tidak semua puisi terus menerus bermain di ranah bunyi, termasuk
sajak di atas. Dapat dikatakan sajak tersebut lebih banyak memiliki bunyi yang
tidak merdu atau kakofoni, hal ini bisa jadi bertujuan untuk mendukung sebuah
suasana kacau yang ingin dihadirkan pada pembaca.
Bunyi
berirama hanya ditemukan pada baris-baris tertentu, selebihnya puisi ini lebih
mengedepankan diksi dan gaya bahasa demi memunculkan sebuah suasana yang liris
dan tragis. Beberapa diksi yang terdengar asing diantaranya salak, banar, dan peluru makarov. Tiga diksi tersebut sebenarnya bisa saja digantikan
dengan lolongan, akar, atau peluru jika ingin membuat pembaca lebih mudah
memahaminya. Tapi tidak demikian, puisi ini benar-benar memerhatikan
keterkaitannya dengan unsur lain. Tiga diksi di atas mungkin saja bertujuan
untuk menambah suasana tegang dalam puisi tersebut.
Selain
itu gaya bahasa yang banyak muncul diantaranya metafora, simile, dan
personifikasi. /Di checnya kematian itu mudah tumbuh bagaikan rumput/, puisi ini membandingkan kematian dengan
rumput yang memiliki sifat mudah tumbuh. Baris ini menggunakan gaya bahasa
simile, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan
mempergunakan kata-kata pembanding (Pradopo, 2012:62). Dalam baris di atas,
simile dibuktikan dengan diksi bagaikan. Pun dengan baris yang berbunyi /Salju yang runtuh dari
rambut kelabumu semacam peluru makarov yang dilempar / menggunakan kata
pembending semacam.
Tidak jauh berbeda dengan simile, terdapat gaya
bahasa metafora. Perbedaan keduanya hanya terletak pada ada tidaknya diksi
pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama dan sebagainya. Dalam puisi di
atas, gaya bahasa metafora ditemukan pada baris /Aku menatap jauh ke langit
kelabu, namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar peristiwa/. Puisi
ini mengumpamakan langit kelabu dengan rambut kelabu tokoh Anna yang mampu
menusuk banar/akar peristiwa.
Selain itu gaya bahasa personifikasi ditemukan pada
baris /Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju,
/dan warna senja lari dari langit kelabu/.
Personifikasi merupakan kiasan yang
mempersamakan benda dengan manusia (Pradopo, 2012:75). Puisi ini menyuguhkan
sebuah fenomena imajinatif dengan menggambarkan tiga hal yang dikiaskan lari
dari tempatnya bak manusia yang sudah tidak betah tinggal di rumahnya. Semua hal di atas semata-mata untuk menambah efek
puitis sebuah puisi dan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya.
Puisi ini juga memakai sarana retorika yang
dinamakan tautologi. Dalam Pradopo (2012:95) menjelaskan bahwa tautologi ialah
sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali. Aku bernyanyi untukmu, Anna/ ditemukan pada baris ketujuh dan baris kesepuluh.
Hal ini bertujuan untuk memberikan penegasan dan pemaknaan yang lebih mendalam
bagi para pembaca.
Setelah analisis lapis suara diatas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang lahir dalam puisi “Buat Anna
Politskovskaya” saling menguatkan satu sama lain. Bunyi yang kacau, diksi yang
asing, majas-majas mengharukan, dan tipografi yang tidak beraturan merupakan
satu-kesatuan yang mampu melibatkan emosi dan perasaan pembaca.
Bahasa adalah
bahan mentah sastrawan (Wellek dan Werren, 1989:217). Jika para pelukis
menjadikan kanvas dan cat air sebagai alat untuk melukis, maka penulis
menjadikan bahasa sebagai mediumnya. Dalam
bahasa itu sendiri terdapat satuan-satuan bahasa diantaranya fonem, suku kata,
kata, kalimat, alinea, bait, dsb. Pun dengan sajak Bode berjudul “Buat Ana
Politskovskaya”, di dalamnya terdapat kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah
kalimat bermakna.
/Salju
yang runtuh dari rambut kelabumu /Semacam peluru makarov yang dilempar seseorang
ke dada dan kepalamu. / Pada bait tersebut, seseorang yang
disebut –mu digambarkan memiliki
rambut berwarna kelabu dan menjatuhkan runtuhan salju. Karena sajak ini
berjudul “Buat Anna Politskovskaya”
maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa seseorang yang digambarkan
berambut kelabu ini adalah Anna. Selain
itu Anna dikisahkan terkena lemparan peluru makarov di dada dan kepalanya.
Lemparan tersebut dapat diartikan sebagai tembakan, mengacu pada benda yang
dilemparkan yakni sebuah peluru yang sudah pasti berasal dari sebuah benda
bernama senjata/pistol.
/Lantas orang-orang bernyanyi
untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata/ Di
checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis
ketakutan menjalar di dinding dan di kanal/. Setelah
kejadian penembakan tersebut, banyak orang yang bernyanyi untuk Anna. Nyanyian
yang berbicara mengenai nasib serta takdir orang-orang yang bermukim di lobang
senjata dapat diartikan sebagai suara-suara atau pendapat orang-orang tentang Anna
dan mereka yang berada di medan perang. Itu menandakan bahwa sosok Anna adalah
seseorang yang berjibaku dengan hal-hal berbau peperangan. Hal ini dijelaskan
lagi pada baris berikutnya yang menyebutkan suatu tempat dimana di tempat
tersebut sering terjadi kematian. Puisi tersebut menggambarkan kematian seperti
rumput yang mudah tumbuh. Kematian di Checnya seakan-akan menjadi hal yang
biasa dan sering terjadi sampai-sampai memunculkan rasa takut dimana-mana.
/Aku menatap jauh ke langit kelabu,
namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar peristiwa./ Aku bernyanyi
untukmu, Anna. Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah./
Di jalan-jalan, di tenda-tenda salju turun lebih kerap dari sebelumnya./ Tapi
nama-nama yang terkuras air matanya lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna./
Bait
di atas masih berbicara mengenai hubungan Anna dengan sekelompok bangsa yang
dikatakan punah. Dalam bait tersebut digambarkan bahwa kerapnya air mata
kesedihan mengalahkan kerapnya salju yang turun di jalan-jalan maupun
tenda-tenda. Tenda dapat dihubungkan dengan sebuah pengungsian. Jika ditarik
kesimpulan sementara maka Checnya merupakan tempat yang berisi orang-orang yang
mengungsi.
/Aku bernyanyi untukmu, Anna.
Ketika salju tak cukup memadamkan bara di tubuhmu/ Ketika burung-burung terbang
ke dasar waktu. /Dan beratus pasang biji mata di giring ke arahmu./ Dalam
bait ini digambarkan empati si aku yang bernyanyi untuk Anna ketika orang-orang
mengetahui apa yang terjadi dengan Anna.
/Salak anjing lari dari jiwa hutan,
rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit kelabu.
Lalu yang datang kepadamu, Anna. /Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana./ Gaya
bahasa perumpamaan yang begitu dominan dalam bait terakhir ini membuat pembaca
akan sulit menafsirkan maksud atau fenomena yang terjadi dengan Anna.
Satu-satunya yang dipahami adalah Anna mendapatkan sebuah kabar atau berita
yang sederhana.
Setelah
menganalisis lapis suara dan lapis arti maka yang akan dibahas berikutnya ialah
lapis ketiga. Pembahasan ini berisi tentang tokoh, latar, alur, dan objek-objek
yang terdapat dalam sajak tersebut. Dalam sajak ini diceritakan seorang tokoh
aku yang menyimpan rasa empati kepada sosok berambut kelabu bernama Anna
Politskovskaya. Anna mati tertembak peluru makarov di dada dan kepalanya.
Setelah itu banyak orang-orang yang bernyanyi untuk Anna termasuk si aku.
Satu-satunya latar tempat yang tersurat dalam sajak tersebut adalah Checnya. Di
checnya kematian digambarkan menjadi suatu hal yang lumrah. Anna
Politskoovskaya dipastikan memiliki hubungan dengan orang-orang yang berada di
Checnya. Checnya digambarkan sebagai bangsa yang punah, bangsa yang sering
merasakan kesedihan. Pertanyaan yang kemudian muncul di setiap benak pembaca
adalah –siapakah Anna Politskovskaya?
Pemaparan
mengenai fenomena yang terjadi di dalam puisi tersebut tidak cukup mengungkap
maksud puisi secara menyeluruh. Keberadaan tokoh Anna Politskovskaya masih
belum jelas asal-usulnya. Apakah ia ada di kehidupan nyata atau hanya sosok
imajiner yang diciptakan oleh pengarangnya. Apakah tragedi penembakan yang
terjadi pada Anna adalah sebuah alegori atau benar-benar terjadi di dunia
nyata.
Pradopo
(2012:19) mengemukakan bahwa analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat
dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis
fenomena-fenomena saja. Rene Wellek (1986:156) menilai bahwa analisisnya yang
maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian.
Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya
sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya
dengan jelas. Namun analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat
mengosongkan makna karya sastra (T.S ELIOT Via Sansom, 1960:155 dalam Pradopo,
2012:20)
Jika
kita simpulkan pendapat-pendapat di atas, analisis yang sudah dipaparkan
sebelumnya perlu ditindaklanjuti guna mengetahui makna sajak seutuhnya. Teori
semiotika dengan pendekatan mimetik menjadi salah satu pilihan untuk menganalis
karya lebih jauh lagi. Menurut Pradopo (2012:294) untuk konkretisasi makna puisi dapat
diusahakan dengan pembacaan heuristik dan heurmeunetik. Pada mulanya sajak
dibaca secara heuristik, kemudian dibaca ulang secara heurmeunetik. Pemaparan
sebelumnya dengan menggunakan lapis norma pertama hingga lapis norma ketiga
dapat disebuat pula dengan pembacaan heuristik. Berikut akan dipaparkan
analisis karya melalui pembacaan heurmeunetik.
Pembacaan Heurmeunetik
Dalam
kritik aliran Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial disamakan dengan
kehebatan arstrik. Seniman menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga merupakan
kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan “dokumen karena merupakan
monumen” (Wellek dan Werren, 1989:111).
Berangkat dari pendapat Hegel dan
Taine, puisi “Buat Anna Politskovskaya”
karya Bode Riswandi dicurigai memiliki nilai sejarah yang perlu diungkap. Hal
ini bisa dikuatkan dengan munculnya nama seseorang, perstiwa, dan tempat dalam
puisi tersebut. Dalam Wellek dan Werren (1989:122) dijelaskan pendekatan yang
umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari
sastra sebagai dokumen sosial, sebagai portet kenyataan sosial.
Hal
di atas bisa menjadi pijakan untuk memberikan kemungkinan bahwa puisi Bode
merupakan salah satu potret dari realita sosial. Entah Anna adalah sosok
imajiner yang diciptakan untuk menggambarkan realita sosial di sekitar
pengarang atau Anna adalah sosok nyata yang pernah hidup dan tercatat dalam sebuah
sejarah yang pernah ada di masyarakat. Pendekatan mimetik yang ditawarkan
Abrams mengungkapkan bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan
realita/kenyataan. Maka dari itu untuk mengetahui identitas Anna dalam puisi Bode
bisa dilakukan dengan cara mencari data di luar karya.
Tulisan David Rudra di dunia maya mengenai
Anna Politskovskaya memaparkan bahwa Anna adalah seorang wartawan yang lahir di
New York pada tahun 1958. Anna merupakan alumni Universitas Negeri di Moskow
jurusan Jurnalistik. Karirnya sebagai seorang wartawan dimulai dari koran
Izvestiya. Dunia internasional mengenalnya sebagai seorang wartawan paling
kritis di Rusia. Setidaknya, dalam perjalanan karirnya sebagai wartawan dan
aktivis HAM, Anna Politkovskaya menerima 10 penghargaan dari Amnesty
Internasional, Reporter Without Borders, dan Organisasi Keamanan dan Kerjasama
Eropa. Hal tersebut memberi satu keterangan bahwa Anna dalam puisi Bode bukan
hanya sosok imajiner pengarang.
Melalui
diksi dan metafora yang dihadirkan dalam puisi tersebut kita dapat mencari tahu
lebih jauh tentang Anna Politskovskaya.
/Salju yang
runtuh dari rambut kelabumu/ Baris tersebut memberikan sebuah
gambaran bahwa Anna Politskovskaya merupakan seseorang yang memliki rambut
berwarna abu-abu. Penggambaran tersebut untuk menunjukan bahwa umur Anna sudah
tidak lagi muda. Jika melihat data di atas, pada saat pengarang menulis puisi
ini tahun 2009, umur Anna diperkirakan 51 tahun. Maka dapat dikatakan pengarang
begitu apik menggambarkan Anna yang sudah beruban dengan diksi rambut kelabumu. Diksi salju yang dituliskan di awal kalimat
bisa langsung memberikan sebuah penegasan bahwa Anna bukanlah seseorang yang
hidup di sekitar pengarang, yaitu Indonesia. Seperti yang telah diketahui
bersama bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak pernah mengalami musim
salju. Setelah mengetahui biodata Anna yang menjalani studi di moskow, maka
diksi salju merupakan upaya pengarang untuk memberikan petunjuk kepada pembaca
bahwa latar yang dihadirkan adalah tempat yang memiliki musim salju, dalam hal
ini Moskow.
/Semacam peluru makarov yang
dilempar /Seseorang ke dada dan kepalamu/. Baris ini
menceritakan bahwa sesuatu telah terjadi pada Anna Politskovskaya. Menurut
beberapa data di internet, Anna ditembak mati di dada dan kepala oleh seseorang
misterius pada tahun 2006 di apartemennya. Ini berarti pengarang menulis puisi
saat Anna sudah meninggal tiga tahun sebelumnya, pada umur 48 tahun.
/Lantas orang-orang bernyanyi
untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata./ Di
checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis
ketakutan menjalar di dinding dan di kanal./
David Rudra meneruskan tulisannya yang menceritakan hubungan
Anna dengan Checnya. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Anna berubah
menjadi harimau yang sangat ditakuti. Anna bukan saja menjadi seorang wartawan
yang kritis, tapi juga sebagai analis yang mencatat perang kotor antara Rusia
dan Grilyawan Chechnya. Dalam sebuah catatan, Anna Politkovskaya bahkan sempat
mendokumentasikan perlakuan kejam militer Rusia dan pasukan yang loyal kepada
Kadyrov terhadap penduduk checnya.
Dia menulis tentang pembunuhan
massal, penculikan, hingga serdadu Rusia yang menjual tulang belulang
gerilyawan Chechnya kepada keluarganya untuk dimakamkan secara Islam.
Tulisan-tulisan itulah yang mengantarkannya sebagai kritikus perang tervokal.
Akibatnya, ancaman demi ancaman datang menghampiri Anna.
Jelas
sudah maksud dari baris di atas yang menyebut Checnya sebagai tempat yang tidak
asing dengan peristiwa kematian. Menurut data Checnya merupakan wilayah yang
ingin membentuk negaranya sendiri layaknya timor-timur di Indonesia saat itu,
namun sayangnya tidak ada satupun negara yang mau mengakuinya. Rusia merupakan
satu-satunya negara yang paling gencar melakukan perlawanan terhadap keinginan
Checnya. Anna Politskovskaya kemudian melakukan liputan investigasi di Checnya
dan membuat sebuah buku yang menggambarkan berbagai peristiwa pelanggaran HAM
di Checnya. Keberanian Anna menguak kekejaman Rusia akhirnya mengantarkan Anna
pada kematiannya yang sudah dibahas pada baris kedua puisi Bode.
/Lantas orang-orang bernyanyi
untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata./ Dari
pemaparan di atas, maka baris pada puisi Bode yang menyatakan bahwa orang-orang
bernyanyi untuk Anna dimaksudkan untuk mengkiaskan orang-orang yang peduli
terhadap peristiwa yang menimpa Anna. Banyak protes dan tulisan dari masyarakat
yang menuntut keadilan untuk Anna dan Checnya.
/Aku bernyanyi untukmu, Anna.
Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah/. Diksi
jari lentikmu berdarah kemungkinan besar ditujukan kepada Anna yang berprofesi
sebagai wartawan. Dimana wartawan identik dengan sebuah tulisan dan tulisan
dapat dihubungkan dengan sebuah jari.
Begitulah Bode yang memilih perumpamaan untuk menggambarkan kisah Anna dengan
sangat cerdik.
/Salak anjing lari dari jiwa hutan,
rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit kelabu.
Lalu yang datang kepadamu, Anna./Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana./. Baris
ini dapat dikatakan masuk ke dalam wilayah subjektif pengarang, di mana pada
baris ini pengarang menggunakan sebuah majas personifikasi yang akan
memunculkan banyak penafsiran yang tidak bisa ditentukan maksudnya dengan
mutlak. Jika berpijak pada data-data yang ada, maksud dari tiga perumpamaan
diatas adalah untuk menggambarkan Anna yang berani keluar dari zona nyamannya
sebagai warga Rusia. Ia berani mengambil resiko untuk menegakan hak azasi
manusia dengan cara menjadi seorang jurnalis yang hanya mengharapkan sebuah
rahasia dan kabar di sebuah wilayah.
C.
SIMPULAN
Analisis
dengan menggunakan teori struktural semiotik dan pendekatan mimetik di atas menunjukkan
bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari sebuah realita sosial. Puisi karya Bode
Riswandi tersebut bukan hanya sekedar alegori atau cerita kiasan yang
diciptakan pengarang melainkan fenomomena yang benar-benar terjadi di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, D.R.
2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Wellek, R dan
Werren, A. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Faruk,
2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Faruk,
2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar