Rabu, 18 Desember 2013

Tentang yang Memilih Pergi dan yang Ingin Pulang

 




 
Menghabiskan masa tua di tempat ini, di sebuah Wisma tanpa keluarga, bersama mereka yang senang dan atau yang terpaksa. Sungguh, akan ada yang tidak baik-baik saja.


Dialog hampa di ruang bersuara angin dan kerinduan

 Ibu asrama membiarkan saya masuk sendiri agar saya bisa bebas berdialog bersama mereka. Saya menuruni tangga menyusuri lorong mencari tempat dimana mereka berkumpul. Sampai akhirnya saya tiba di sebuah ruangan yang begitu nyaman, cahaya matahari bisa masuk dengan leluasa. Tapi ruangan tetap terasa dingin. Mereka berkumpul tapi tidak berbahasa. Pandangan mereka kosong. Entah apa yang mereka pikirkan, anak... keluarga... atau...
kematian?


Saya kemudian mencoba memecah lamunan mereka dengan mengucapkan salam. Semua memberi respon, meski hanya dengan mengalihkan pandangannya pada saya. 
Saya menyalami mereka satu persatu, kemudian mulai mengajak mereka berdialog. Kadang-kadang monolog. Hanya satu kakek yang benar-benar bisa mengerti apa yang saya tanyakan. Namanya Suwito. Ternyata beliau adalah seorang guru dulunya. Setelah beliau menceritakan tentang dirinya, tentang anak-anaknya yang telah sukses, saya memberanikan diri untuk bertanya mengapa dia sampai berada disini.
"Tidak ada yang mau mengurus saya".
Hati saya mengkerut, lalu sesak. Saya merasakan ada yang menumpuk di kantung mata. Kakek itu ingin pulang. Tapi bagaimana lagi, katanya keberadaan beliau hanya akan merepotkan anak-anaknya. 
Ya Rabb....
Lalu aku bertanya "Keluarga Kakek sering menjenguk kemari?"
"Sebulan sekali ada yang kesini untuk bayar."
Sekarang mataku benar-benar basah.
...
Waktu makan siang tiba, semua pergi ke ruang makan. Tidak terkecuali Pak Suwito. Lalu saya mengikuti mereka. Semuanya duduk rapi seolah mereka sudah tau di mana tempat mereka makan. Mereka melahap makanan seperti sebuah keharusan. Rutinitas yang begitu menyakitkan untuk saya saksikan. Makan siang dengan sebuah keheningan yang sepertinya sudah sering mereka dengar. 

Saya kemudian memilih untuk berbincang dengan seorang Ibu yang sedang duduk di sofa. Saya kira beliau adalah pengurus wisma. Ternyata beliau salah satu lansia paling muda yang juga tinggal di wisma. Namanya Oma Euis. Berbeda dengan Pak Suwito, ia di sini karena keinginannya sendiri. Saya tidak ingin merepotkan anak katanya. Banyak cerita yang saya dapat dari beliau. Termasuk tentang lansia yang pada saat sakaratul maut masih memanggil-manggil nama anaknya. Astagfirullah...
Saya terus berbincang sampai semua menyelesaikan makan siangnya.





Kemudian saya memasuki kamar-kamar. Saya bertemu dengan Nenek Uka, Eyang Kabul, dan Mbah Manisem. Semuanya bercerita. Semuanya begitu membuat saya betah berlama-lama di sana. Mbah Manisem, lima anaknya tewas terkena tsunami. Beliau bisa sampai di Wisma karena bantuan seorang petugas dinas sosial. Beliau kemudian menceritakan suka duka tinggal di Wisma. Yang menyedihkan adalah jika tiba waktu kunjungan. Tidak ada keluarga yang menengok beliau. Hanya orang-orang asing yang datang bergantian menemuinya. Tapi orang-orang asing itu kini menjadi keluarganya. Tidak sedikit orang-orang yang pernah datang kesana kemudian menganggap Mbah sebagai neneknya. Kalian bisa lihat lembaran foto yang diperlihatkan Mbah kepada saya. Mereka semua sekarang keluarga.

Ah ya Tuhan... Saya tidak pernah membayangkan harus menghabiskan masa tua di tempat ini. Mungkin begitu juga dengan mereka. Saya yakin dulu mereka memiliki cita-cita yang sama, menikmati pagi di teras rumah dengan secangkir teh dan ditemani suara cucu-cucu yang sedang bermain.
Bukankah begitu impian setiap orang?

Semoga Allah memberikan mereka kebahagiaan, kesehatan, dan keselamatan dunia akhirat. Aamiin.