Senin, 06 Oktober 2014

Alegori Hujan

Cepen Resna J Nurkirana

Delapan dua lima, seperti kelabu yang menyiratkan keraguan, gumpalan awan kini terjebak di antara hitam pekat dan putih pucat. Sudah cukup lama perempuan itu menunggu, tapi hujan belum juga turun. Ia belum pasrah meski terus mendesah lelah. Ia masih menunggu di sebuah jalan dimana tak ada orang berjalan, atau sekadar suara malam yang sudi menemani kesetiaan, hanya ada satu dua akasia dengan sedikit ranting dan dedaun kering.

Setelah kemarau tak lagi menciptakan kebahagiaan, apalagi yang lebih berarti selain mengharap hujan?

***
Perempuan itu sesekali mendongakkan kepalanya melihat keadaan langit, berharap untuk kali ke entah, berharap basah. Namun angin yang terus menyelimutinya seolah mengingatkan bahwa malam sudah larut. Ayahnya pasti sudah memandangi pintu rumah, menantinya di ruang tamu. Hari ini hujan sama dengan harapan. Ia pun beranjak pergi meninggalkan jalan dan dingin yang menertawakannya parau.

“Syukurlah kau sudah pulang.” Sambut ayahnya.
“Ya, dan untungnya malam ini kau tidak kehujanan seperti kemarin.” Sambung seorang wanita di samping ayahnya dengan sepuntung rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya.
Kemudian perempuan itu tersenyum sinis sambil menatap wanita tersebut, lalu masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Hari kedua di bulan yang masih sama. Ia kembali ke jalan yang tak pernah sama. Berharap menemukan hujan di tempat barunya.  Senja baru saja menghilang, tersedot matahari yang selalu ingin kembali, lalu ada dan pergi. Hari ini ia ingin lebih awal meninggalkan siang, meninggalkan rumah dan setumpuk rasa dendam.  Ia menyandarkan punggungnya di tiang lampu jalan yang berkarat, di bawah cahaya yang hampir sekarat. Aku begitu merindumu saat ini! Ketahuilah Bu, hidupku sudah terlalu mati. Ia memeluk erat lututnya yang menggigil, membenamkan kepalanya, lalu menumpahkan air mata sebagai luapan rindunya.

Beberapa menit kemudian, ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Seorang lelaki dengan baju kuyup dan tubuh menggigil kedinginan.

“Kau siapa? Mengapa bisa basah? Ada hujan? Dimana?”
Laki-laki itu menatap kosong, dingin dan beku.
“Hey! Kau tuli? Dimana kau temukan hujan?”
“Aku tak ingat. Sebaiknya kau pulang saja.” Perintah si lelaki lirih.
“Apa? Tidak. Aku tidak akan pulang sebelum hujan!”
“Terserah kau saja!” Laki-laki itu kemudian pergi.

Perempuan berteriak: “Pergi saja! Aku akan menunggunya! Aku akan menemukan hujan tanpa bantuanmu!”

Hening.

Dari kejauhan “Semoga berhasil!”

Sinting. Perempuan itu kembali duduk dan terdiam. Ia menempelkan kepalanya pada tiang, lalu menunggu. Satu jam, dua, tiga jam kemudian, hujan belum juga turun. Sudah pukul sembilan. Ia lalu kembali pulang dengan setumpuk harap bahwa esok hujan adalah kenyataan.

“Syukurlah kau sudah pulang.”
“Mana wanita itu Ayah?”
“Baru saja pulang. Ia terlalu lama menunggumu.”
“Mulai besok katakan padanya tak usah pura-pura menungguku.” Perempuan itu kembali masuk ke kamarnya, termangu, lalu tertidur.

Malam ketiga ia menuju ke tempat yang sama, ke tiang jalan berkarat dengan sinar yang kini sekarat. Dari kejauhan, ia melihat tiang tersebut telah ditempati seorang lelaki berjaket abu. Kemudian perempuan itu mendekat perlahan. Heran.

“Kau yang kemarin kan? Mengapa disini?”

Laki-laki itu kemudian menatap perempuan yang kini tengah duduk di sampingnya. Kini perempuan itu bisa melihat jelas wajah lelaki tersebut. Seusia, tidak putih, tirus, dengan mata yang sedikit bulat dan cokelat, dalam hatinya perempuan itu mengatakan tampan. Sebenarnya lelaki ini siapa?

“Maaf jika harus merebut tempatmu, tapi aku ingin disini, untuk malam ini.”
“Baiklah, lagi pula tempat ini bukan milikku. Jadi aku tidak bisa melarangmu.” Laki-laki itu kemudian tersenyum dan berterima kasih.

Sudah hampir satu jam keduanya terduduk tanpa saling bersuara. Ini mustahil, tapi mereka benar-benar larut dalam keheningan, yang perempuan menunggu hujan dan yang lelaki entah menunggu apa. Tiba-tiba, sebuah baris yang turun teratur mengejutkan lamunan mereka, Gerimis.

“Astaga!” Ucap keduanya bersamaan dengan ekspresi wajah yang tak sama.
“Hujan! Ayo pulang!” Lelaki itu terlihat panik dan sibuk menaikan zipper jaketnya. Ia tidak sadar kalau perempuan yang tadi di sampingnya sudah berada di tengah jalan sambil berputar-putar dengan senyum mengembang.
“Heh, kau gila yah. Ayo pulang!” Teriak lelaki itu dengan mata menyipit menghindari rintik air yang memaksa masuk.
“Kau saja yang pulang.” Perintah gadis tersebut.
“Nanti ibumu marah!”
“Ibuku disini!”
“Apa?”
“Sudahlah, lebih baik kau pulang!”

Laki-laki itu bergegas mencari tempat berteduh . Perempuan itu terus menikmati hujan, dan laki-laki itu terus menggerutu. Aneh, perempuan sakit! Hujan saja disamakan dengan salju.

Tawa perempuan tersebut semakin memecah, sedangakan laki-laki yang sedang mengamatinya semakin gelisah. Ia tidak terlalu basah, tapi ia kedinginan, bibirnya bergetar, wajahnya mulai pucat. 
Seharusnya ia pulang, seperti kemarin, tapi perempuan itu, perempuan itu membuatnya bertahan.

Sembilan lebih. Hujan mulai lelah, kemudian pergi meninggalkan bau basah. Laki-laki itu lalu menghampiri perempuan tersebut yang kini sudah kembali duduk di dekat tiang jalan dengan wajah berseri. “Mengapa menunggu hujan?” Lelaki itu bertanya dengan nada datar“Mengapa menungguku?” Perempuan itu mengangkat kedua alisnya dibarengi senyum asimetris. Wajah lelaki itu seketika memerah“Aku pulang sekarang, jangan disini terlalu lama. Kau sudah menemukan yang kau cari.”  Lelaki itu pun bangkit.

“Lalu bagaimana denganmu?”
“Denganku? Atau denganmu?”
“Denganmu. Untuk apa kau disini, apa yang kau tunggu?
“Tidak ada. Aku tak pernah menunggu apapun selain kematian.”
“Apa?”
“Pulanglah, besok kita bisa bicara lebih banyak. Udara disini terlalu dingin.”

Lelaki itu pergi. Berjalan cukup cepat.

“Hey, Kau pucat. Kau tak suka hujan?”

Lelaki itu berlari pelan. Perempuan berteriak. “Terima kasih”.
Perempuan itu pun pulang, membawa aroma hujan yang menempel di sekujur tubuhnya, meninggalkan jalanan hening, tiang basah, pepohonan dan sepucuk kenangan.

“Astaga, kau hujan-hujanan? Kau bisa sakit.” Wanita di ruang tamu itu langsung memasang wajah khawatir.

“Bukankah kalau aku mati kau akan lebih senang?” Jawab perempuan tersebut sambil menyunggingkan senyum pahit kepada wanita yang selalu duduk di samping ayahnya ketika ia pulang. Ia lalu membanting pintu kamarnya menyisakan kesunyian.

Malam berikutnya, perempuan tersebut kembali. Ia melihat lelaki yang kemarin bersamanya, tengah melamun bersama aspal. Perempuan itu lalu tertegun menatap tiang jalan. Tak ada lagi pendar cahaya samar di sekitarnya.

“Ada apa dengan lampunya? Bukankah kemarin ia baik-baik saja?”
"Ya, dan sekarang tidak lagi." Lelaki itu berdiri menyambutnya.
"Tapi kemarin masih menyala. Masih bersinar meski redup." Protes perempuan.
“Tapi tidak menutup kemungkinan jika sekarang ia mati karena kedinginan bukan?”
Keduanya tersenyum miris.
“Kemarin kulihat kau juga kedinginan, tapi untungnya kau tidak mati.”
“Haha, entahlah. Seharusnya mati. Tapi mungkin Tuhan tak ingin kau sendiri malam ini.”
“Hmmmm ya, kau tak suka hujan?”
“Entahlah. Tak ada yang istimewa dengan hujan. Hanya membuat basah dan resah. Kau? Mengapa kau selalu menunggu hujan?”
“Ibuku bilang, hujan akan datang untuk menemani jika kita sedang sendiri.”
"Ibumu tidak takut kau sakit?”
“Sama sekali tidak. Ibuku selalu mengatakan kalau aku takkan pernah mati hanya karena hujan, justru kesepian yang membunuh kita perlahan.”

Mereka lalu saling bertanya, bercerita, termenung, kemudian tertawa. Tak terasa langit semakin gelap, perempuan tersebut tak sadar bahwa hari sudah terlalu malam.
“Wanita itu sudah merebut perhatian ayah. Dia pintar mengatur raut wajah. Aku benci pulang karena wanita itu. Aku rindu Ibu, karena itu aku akan terus mencari hujan.”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, mungkin sampai wanita itu mati, atau aku yang mati.”

Lelaki itu segera menatap wajah perempuan tersebut. Entah berapa lama, lelaki tersebut seperti terus memberi isyarat. Mata mereka saling bertemu satu sama lain, dan entah mengapa, tatapan mereka seakan berkata banyak.
“Aku harus pulang, semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi.”  Keduanya berdiri. Mereka lalu berjalan ke arah berlawanan. “Terima kasih” Teriak perempuan tersebut setelah jauh sebelum lelaki tersebut berbelok di persimpangan.

Perempuan itu pun pulang dengan membawa suasana hati yang tak biasa. Tak ada siapa pun di ruang tamu. Bagus, aku tak butuh sambutan kalian!
Malam berikutnya, perempuan itu datang lebih awal ke tempat kemarin. Ia berbeda, ada sedikit warna jambon di kedua tulang pipinya. Wajahnya begitu sumeringah.  Udara dingin seketika berhembus menyapa kedatangannya. Ia lalu bersila sambil sesekali merapikan rambutnya yang tersibak angin. 

Lima, enam, dan lima belas menit kemudian seseorang yang ditunggunya belum juga datang. Satu sampai dua jam perempuan itu masih tetap sendirian. Kembali, ia merasa sepi. Ia lalu melihat ke atas, berharap semesta kembali bergerimis. Tuhan mendengarnya, tetiba hujan turun tanpa isyarat terlebih dahulu. Seketika deras dan keras.

Ibu, malam ini hujan. Seharusnya aku bahagia. Tapi, tapi mengapa hujan kali ini begitu menyakitkan?”

Perempuan itu pun pulang sebelum hujan selesai. Tubuhnya menggigil menguapkan bau sesak. Kembali, tak ada yang menyambutnya di ruang tamu. Dan ya, kali ini ia benar-benar ingin mati.
Malam berikutnya, ia hanya ditemani suara hening, semacam suara air ludah yang ia telan perlahan di tenggorokannya setiap kali menahan tangis.

***

Kali ke dua puluh sembilan semenjak pertemuan. Tak satu pun malam terlewat untuk ia habiskan di tiang jalan yang semakin kusam . Entah apa yang membuat ia begitu yakin bahwa lelaki itu akan datang. Malam ini, secarik kertas di dekat tiang yang ia lihat sebelum duduk membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Ketika hujan bukan lagi sajak,
maka malam hanya akan menjadi sesak, pulanglah!
Aku tak bisa lagi menjagamu dari jauh. Berhentilah menunggu, udara malam tak pernah baik untukmu. Maaf, aku tak pernah berani menghampirimu lagi, semuanya akan terlalu singkat dan menyakitkan.  Tapi percayalah, suatu saat hujan akan kembali menyenangkan.

TAMAT