Kamis, 18 Desember 2014

Usia Dua Puluh dan Doa Istikharah

Bismillahirrahmanirrahim

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon petunjuk-Mu yang baik dengan pengetahuan-Mu, dan aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu, dan aku memohon kemurahan-Mu yang luas, karena sesungguhnya Engkau maha kuasa dan aku tidak memiliki kekuasaan itu, begitu pula Kau mengetahui yang ghaib-ghaib. 

Dan bila Engkau tahu sesungguhnya hal ini baik bagiku untuk agamaku, kehidupanku, dan masa depanku, maka pastikan dia padaku dan mudahkanlah dia padaku, kemudian berikan rahmat padanya. Dan Engkau mengetahui bahwasannya kejahatan bagiku, untuk agamaku, hidupku, dan hari kemudianku, maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan berilah kebaikan padaku, di mana saja aku berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridho dengan pemberian itu." 


Entah mengapa, saat ini saya begitu mencintai do'a istikharah. Teringat kesedihan di awal tahun lalu, Allah sesungguhnya ingin menyadarkan saya bahwa segala urusan manusia telah ada dalam kuasa-Nya. Betapa kita sesungguhnya lemah dan tak mengetahui apa-apa. Pada akhirnya, do'a ini juga mengingatkan saya untuk menyerahkan semua pilihan yang ditawarkan dunia hanya kepada-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang baik bagi kita. Semoga kita menjadi orang yang selalu ridha dengan pilihan-Nya. Aamiin 

Sabtu, 15 November 2014

Catatan untukmu, Keanu

Dulu ketika kamu masih setinggi pinggangku, kita pernah begitu dekat. Begitu akrab. Sesekali aku mengajakmu ke sebuah zona bermain atau membelikanmu sebuah eskrim corong. Beberapa kali aku menginap di rumahmu untuk bisa menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur. Barangkali kamu masih ingat tentang dongeng seorang majikan dengan anjing-anjingnya. Dimana akhir ceritanya kamu sendiri yang menentukan. Dongeng-dongeng yang kerap membuatmu menjadi sulit tidur karena terus kamu pikirkan. Sering juga aku memerhatikanmu bermain bongkar pasang. Mengagumi potensi motorikmu yang begitu baik.

Beberapa tahun terakhir, kamu bertambah tinggi. Bertambah tampan. Bertambah pula kebutuhan kamu untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Kita tak lagi sempat bermain bongkar pasang. Kehidupan menuntutmu untuk bisa menjawab banyak persoalan. Perhitungan. Kesemuanya telah sering membuat keningmu tampak mengerut. Gelak tawa kita perlahan susut direbut obrolan-obrolan tentang pelajaran dan ujian, atau oleh nilai matematika yang sering kamu keluhkan.

Beberapa jam lalu, aku mencoba mengisi pertemuan kita yang singkat untuk mengajarkanmu pembagian. Seketika aku berubah menjadi Bibi yang mungkin menyebalkan. Menuntutmu untuk benar dalam mengisi soal-soal. Aku yakin dalam benakmu terdapat banyak pertanyaan. Kebingungan. Kekecewaan. Sampai akhirnya kamu sampai pada titik keputusasaan. Kamu menangis.

Sayang. Barangkali aku memang terlalu menyebalkan. Aku menuntutmu untuk menguasai cara membagi sejumlah angka. Padahal ini malam minggu. Malam dimana seharusnya kamu bebas dari segala persoalan dan pekerjaan sekolah yang harus kamu selesaikan. Kehidupan memang tak selalu menyenangkan. Tak seperti saat kamu masih setinggi pinggang.

Keanu. Akhir-akhir ini, aku sering tak punya waktu untuk mengajakmu bermain serupa dulu, apalagi untuk memerhatikanmu bermain bongkar pasang. Aku tahu bahwa waktu tengah begitu deras menghanyutkan kita pada kesibukan tak menyenangkan. Semoga kita bisa terus melawan keasingan.








Selasa, 04 November 2014

Tentang Menulis

Sisa-sisa ingatan setelah bertemu Aan Mansyur dan Faisal Syahreza di acara lokakarya kepenulisan kreatif GBSI 2014.

1. Alasan menulis 

Bagi kamu yang memutuskan untuk menjadi penulis, silakan terlebih dahulu menanyakan hal paling mendasar dalam benak masing-masing. Untuk apa menulis? Setelah kamu yakin dengan alasanmu, silakan menulis. Tapi jika kamu sendiri tidak tahu mengapa kamu menulis, lebih baik kamu melakukan hal lain  yang lebih bermanfaat.

2. Menulis seperti berciuman

Jangan pernah mengira bahwa kamu bisa menjadi penulis tanpa bantuan orang lain. Seperti berciuman, menulis adalah pekerjaan saling, pekerjaan yang membutuhkan kawan. Untuk apa? Banyak hal. Baiknya kamu selalu memperlihatkan tulisanmu pada orang yang telah kamu anggap bisa membantu. Artinya, dia betul-betul membaca dan memberi tahu bagian mana yang buruk dan perlu diperbaiki. Dengan begitu, kamu tidak akan merasa bahwa tulisanmu telah sempurna.

3. Selamanya merasa miskin

Memutuskan menjadi penulis adalah memutuskan untuk menjadi miskin. Minim penghasilan? bisa jadi. Tapi yang lebih memungkinkan adalah kamu akan selalu merasa miskin dalam banyak hal. Semakin banyak tulisanmu, maka kamu akan semakin merasa kekurangan banyak buku, kawan, dan pengalaman. Merasa miskin barangkali tak ada salahnya. Ditakutkan, ketika kamu sudah merasa berkecukupan, maka kamu akan diam pada zona nyaman, yang bisa jadi sebenarnya zona tersebut masih banyak kecacatan.

4.  Seribu tulisan buruk

Bagi penulis pemula, akan sangat wajar jika karya kita sering diabaikan oleh orang lain. Terlalu banyak yang harus dibenahi, akhirnya si pembaca memilih bungkam atau mengatakan "Sudah bagus." Jangan pernah percaya. Seseorang tidak akan langsung bisa membuat tulisan yang baik. Anggap saja, menurut Aan, dalam diri kita ada seribu tulisan buruk. Maka untuk bisa membuat sebuah tulisan yang baik, kita harus terlebih dahulu mengeluarkan seribu tulisan jelek dalam diri kita, satu-persatu.

5. Jangan mencintai karya

Menjadi haram barangkali, jika selesai menulis kamu begitu mencintai dan mengagumi karyamu. Menurut Faisal, proses akan jauh lebih berkesan dan baik untuk dicintai. Maka ketika kamu mencintai proses, kamu akan tetap menulis meski kamu telah berhasil membuat sebuah tulisan yang baik.

6. Belajar dari tukang baso

Kendala yang paling klise ketika kita akan menulis adalah persoaalan bad mood. Aan belajar dari seorang tukang baso yang sering dipanggil Masda. Setiap hari ia memerhatikan bagaimana Masda melayani pembeli. Dan sampai saat ini, Aan belum pernah mendengar Masda mengatakan "Aduh maaf, saya lagi gak mood."

Masda telah memutuskan bahwa pekerjaannya adalah seorang tukang baso. Maka ia harus menerima konsekuensi untuk terus melayani pembeli. Sama halnya ketika kita memutuskan untuk menjadi seorang penulis yang baik. Profesional bisa dilihat dari kesetiaan kita memulai dan menyelesaikan pekerjaan.

7. Jalan kaki dan deskripsi.

Teknologi saat ini semakin mempermudah manusia dalam berbagai aspek. Hal tersebut menciptakan sebuah kemalasan demi kemalasan dalam kehidupan manusia. Kendaraan membuat kita malas untuk berjalan kaki. Padahal kata Aan, semakin cepat kita berkendara, maka akan semakin buruk kemampuan kita dalam membuat sebuah deskripsi. Hal-hal yang dilewati di sepanjang jalan bergerak sangat cepat dalam pandangan kita. Motion/pergerakan setiap objek akan sangat sulit kita deskripsikan ke dalam sebuah kalimat.

8. Seluruhnya, adalah kegiatan menulis

Kegiatan menulis itu antara lain: Memikirkan ide, menuliskannya, kemudian mengedit tulisan tersebut. Keputusan menjadi seorang penulis adalah keputusan berat. Jam kerjanya berlangsung setiap waktu. Pastikan, jika kita tidak sedang mengedit tulisan artinya kita sedang menulis. Dan jika kita tidak sedang menulis, artinya kita sedang memikirkan suatu hal untuk dituliskan.


10. Membaca, jalan mencari jatidiri

Semakin banyak kita membaca, maka kita akan semakin memiliki banyak warna. Hal tersebut merupakan jalan untuk kita menciptakan warna baru dalam sebuah tulisan. Maka jangan pernah kamu berharap bisa menemukan dirimu dalam sebuah tulisan jika hanya membaca satu atau dua penulis.


November 2014

Senin, 06 Oktober 2014

Alegori Hujan

Cepen Resna J Nurkirana

Delapan dua lima, seperti kelabu yang menyiratkan keraguan, gumpalan awan kini terjebak di antara hitam pekat dan putih pucat. Sudah cukup lama perempuan itu menunggu, tapi hujan belum juga turun. Ia belum pasrah meski terus mendesah lelah. Ia masih menunggu di sebuah jalan dimana tak ada orang berjalan, atau sekadar suara malam yang sudi menemani kesetiaan, hanya ada satu dua akasia dengan sedikit ranting dan dedaun kering.

Setelah kemarau tak lagi menciptakan kebahagiaan, apalagi yang lebih berarti selain mengharap hujan?

***
Perempuan itu sesekali mendongakkan kepalanya melihat keadaan langit, berharap untuk kali ke entah, berharap basah. Namun angin yang terus menyelimutinya seolah mengingatkan bahwa malam sudah larut. Ayahnya pasti sudah memandangi pintu rumah, menantinya di ruang tamu. Hari ini hujan sama dengan harapan. Ia pun beranjak pergi meninggalkan jalan dan dingin yang menertawakannya parau.

“Syukurlah kau sudah pulang.” Sambut ayahnya.
“Ya, dan untungnya malam ini kau tidak kehujanan seperti kemarin.” Sambung seorang wanita di samping ayahnya dengan sepuntung rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya.
Kemudian perempuan itu tersenyum sinis sambil menatap wanita tersebut, lalu masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Hari kedua di bulan yang masih sama. Ia kembali ke jalan yang tak pernah sama. Berharap menemukan hujan di tempat barunya.  Senja baru saja menghilang, tersedot matahari yang selalu ingin kembali, lalu ada dan pergi. Hari ini ia ingin lebih awal meninggalkan siang, meninggalkan rumah dan setumpuk rasa dendam.  Ia menyandarkan punggungnya di tiang lampu jalan yang berkarat, di bawah cahaya yang hampir sekarat. Aku begitu merindumu saat ini! Ketahuilah Bu, hidupku sudah terlalu mati. Ia memeluk erat lututnya yang menggigil, membenamkan kepalanya, lalu menumpahkan air mata sebagai luapan rindunya.

Beberapa menit kemudian, ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Seorang lelaki dengan baju kuyup dan tubuh menggigil kedinginan.

“Kau siapa? Mengapa bisa basah? Ada hujan? Dimana?”
Laki-laki itu menatap kosong, dingin dan beku.
“Hey! Kau tuli? Dimana kau temukan hujan?”
“Aku tak ingat. Sebaiknya kau pulang saja.” Perintah si lelaki lirih.
“Apa? Tidak. Aku tidak akan pulang sebelum hujan!”
“Terserah kau saja!” Laki-laki itu kemudian pergi.

Perempuan berteriak: “Pergi saja! Aku akan menunggunya! Aku akan menemukan hujan tanpa bantuanmu!”

Hening.

Dari kejauhan “Semoga berhasil!”

Sinting. Perempuan itu kembali duduk dan terdiam. Ia menempelkan kepalanya pada tiang, lalu menunggu. Satu jam, dua, tiga jam kemudian, hujan belum juga turun. Sudah pukul sembilan. Ia lalu kembali pulang dengan setumpuk harap bahwa esok hujan adalah kenyataan.

“Syukurlah kau sudah pulang.”
“Mana wanita itu Ayah?”
“Baru saja pulang. Ia terlalu lama menunggumu.”
“Mulai besok katakan padanya tak usah pura-pura menungguku.” Perempuan itu kembali masuk ke kamarnya, termangu, lalu tertidur.

Malam ketiga ia menuju ke tempat yang sama, ke tiang jalan berkarat dengan sinar yang kini sekarat. Dari kejauhan, ia melihat tiang tersebut telah ditempati seorang lelaki berjaket abu. Kemudian perempuan itu mendekat perlahan. Heran.

“Kau yang kemarin kan? Mengapa disini?”

Laki-laki itu kemudian menatap perempuan yang kini tengah duduk di sampingnya. Kini perempuan itu bisa melihat jelas wajah lelaki tersebut. Seusia, tidak putih, tirus, dengan mata yang sedikit bulat dan cokelat, dalam hatinya perempuan itu mengatakan tampan. Sebenarnya lelaki ini siapa?

“Maaf jika harus merebut tempatmu, tapi aku ingin disini, untuk malam ini.”
“Baiklah, lagi pula tempat ini bukan milikku. Jadi aku tidak bisa melarangmu.” Laki-laki itu kemudian tersenyum dan berterima kasih.

Sudah hampir satu jam keduanya terduduk tanpa saling bersuara. Ini mustahil, tapi mereka benar-benar larut dalam keheningan, yang perempuan menunggu hujan dan yang lelaki entah menunggu apa. Tiba-tiba, sebuah baris yang turun teratur mengejutkan lamunan mereka, Gerimis.

“Astaga!” Ucap keduanya bersamaan dengan ekspresi wajah yang tak sama.
“Hujan! Ayo pulang!” Lelaki itu terlihat panik dan sibuk menaikan zipper jaketnya. Ia tidak sadar kalau perempuan yang tadi di sampingnya sudah berada di tengah jalan sambil berputar-putar dengan senyum mengembang.
“Heh, kau gila yah. Ayo pulang!” Teriak lelaki itu dengan mata menyipit menghindari rintik air yang memaksa masuk.
“Kau saja yang pulang.” Perintah gadis tersebut.
“Nanti ibumu marah!”
“Ibuku disini!”
“Apa?”
“Sudahlah, lebih baik kau pulang!”

Laki-laki itu bergegas mencari tempat berteduh . Perempuan itu terus menikmati hujan, dan laki-laki itu terus menggerutu. Aneh, perempuan sakit! Hujan saja disamakan dengan salju.

Tawa perempuan tersebut semakin memecah, sedangakan laki-laki yang sedang mengamatinya semakin gelisah. Ia tidak terlalu basah, tapi ia kedinginan, bibirnya bergetar, wajahnya mulai pucat. 
Seharusnya ia pulang, seperti kemarin, tapi perempuan itu, perempuan itu membuatnya bertahan.

Sembilan lebih. Hujan mulai lelah, kemudian pergi meninggalkan bau basah. Laki-laki itu lalu menghampiri perempuan tersebut yang kini sudah kembali duduk di dekat tiang jalan dengan wajah berseri. “Mengapa menunggu hujan?” Lelaki itu bertanya dengan nada datar“Mengapa menungguku?” Perempuan itu mengangkat kedua alisnya dibarengi senyum asimetris. Wajah lelaki itu seketika memerah“Aku pulang sekarang, jangan disini terlalu lama. Kau sudah menemukan yang kau cari.”  Lelaki itu pun bangkit.

“Lalu bagaimana denganmu?”
“Denganku? Atau denganmu?”
“Denganmu. Untuk apa kau disini, apa yang kau tunggu?
“Tidak ada. Aku tak pernah menunggu apapun selain kematian.”
“Apa?”
“Pulanglah, besok kita bisa bicara lebih banyak. Udara disini terlalu dingin.”

Lelaki itu pergi. Berjalan cukup cepat.

“Hey, Kau pucat. Kau tak suka hujan?”

Lelaki itu berlari pelan. Perempuan berteriak. “Terima kasih”.
Perempuan itu pun pulang, membawa aroma hujan yang menempel di sekujur tubuhnya, meninggalkan jalanan hening, tiang basah, pepohonan dan sepucuk kenangan.

“Astaga, kau hujan-hujanan? Kau bisa sakit.” Wanita di ruang tamu itu langsung memasang wajah khawatir.

“Bukankah kalau aku mati kau akan lebih senang?” Jawab perempuan tersebut sambil menyunggingkan senyum pahit kepada wanita yang selalu duduk di samping ayahnya ketika ia pulang. Ia lalu membanting pintu kamarnya menyisakan kesunyian.

Malam berikutnya, perempuan tersebut kembali. Ia melihat lelaki yang kemarin bersamanya, tengah melamun bersama aspal. Perempuan itu lalu tertegun menatap tiang jalan. Tak ada lagi pendar cahaya samar di sekitarnya.

“Ada apa dengan lampunya? Bukankah kemarin ia baik-baik saja?”
"Ya, dan sekarang tidak lagi." Lelaki itu berdiri menyambutnya.
"Tapi kemarin masih menyala. Masih bersinar meski redup." Protes perempuan.
“Tapi tidak menutup kemungkinan jika sekarang ia mati karena kedinginan bukan?”
Keduanya tersenyum miris.
“Kemarin kulihat kau juga kedinginan, tapi untungnya kau tidak mati.”
“Haha, entahlah. Seharusnya mati. Tapi mungkin Tuhan tak ingin kau sendiri malam ini.”
“Hmmmm ya, kau tak suka hujan?”
“Entahlah. Tak ada yang istimewa dengan hujan. Hanya membuat basah dan resah. Kau? Mengapa kau selalu menunggu hujan?”
“Ibuku bilang, hujan akan datang untuk menemani jika kita sedang sendiri.”
"Ibumu tidak takut kau sakit?”
“Sama sekali tidak. Ibuku selalu mengatakan kalau aku takkan pernah mati hanya karena hujan, justru kesepian yang membunuh kita perlahan.”

Mereka lalu saling bertanya, bercerita, termenung, kemudian tertawa. Tak terasa langit semakin gelap, perempuan tersebut tak sadar bahwa hari sudah terlalu malam.
“Wanita itu sudah merebut perhatian ayah. Dia pintar mengatur raut wajah. Aku benci pulang karena wanita itu. Aku rindu Ibu, karena itu aku akan terus mencari hujan.”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, mungkin sampai wanita itu mati, atau aku yang mati.”

Lelaki itu segera menatap wajah perempuan tersebut. Entah berapa lama, lelaki tersebut seperti terus memberi isyarat. Mata mereka saling bertemu satu sama lain, dan entah mengapa, tatapan mereka seakan berkata banyak.
“Aku harus pulang, semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi.”  Keduanya berdiri. Mereka lalu berjalan ke arah berlawanan. “Terima kasih” Teriak perempuan tersebut setelah jauh sebelum lelaki tersebut berbelok di persimpangan.

Perempuan itu pun pulang dengan membawa suasana hati yang tak biasa. Tak ada siapa pun di ruang tamu. Bagus, aku tak butuh sambutan kalian!
Malam berikutnya, perempuan itu datang lebih awal ke tempat kemarin. Ia berbeda, ada sedikit warna jambon di kedua tulang pipinya. Wajahnya begitu sumeringah.  Udara dingin seketika berhembus menyapa kedatangannya. Ia lalu bersila sambil sesekali merapikan rambutnya yang tersibak angin. 

Lima, enam, dan lima belas menit kemudian seseorang yang ditunggunya belum juga datang. Satu sampai dua jam perempuan itu masih tetap sendirian. Kembali, ia merasa sepi. Ia lalu melihat ke atas, berharap semesta kembali bergerimis. Tuhan mendengarnya, tetiba hujan turun tanpa isyarat terlebih dahulu. Seketika deras dan keras.

Ibu, malam ini hujan. Seharusnya aku bahagia. Tapi, tapi mengapa hujan kali ini begitu menyakitkan?”

Perempuan itu pun pulang sebelum hujan selesai. Tubuhnya menggigil menguapkan bau sesak. Kembali, tak ada yang menyambutnya di ruang tamu. Dan ya, kali ini ia benar-benar ingin mati.
Malam berikutnya, ia hanya ditemani suara hening, semacam suara air ludah yang ia telan perlahan di tenggorokannya setiap kali menahan tangis.

***

Kali ke dua puluh sembilan semenjak pertemuan. Tak satu pun malam terlewat untuk ia habiskan di tiang jalan yang semakin kusam . Entah apa yang membuat ia begitu yakin bahwa lelaki itu akan datang. Malam ini, secarik kertas di dekat tiang yang ia lihat sebelum duduk membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Ketika hujan bukan lagi sajak,
maka malam hanya akan menjadi sesak, pulanglah!
Aku tak bisa lagi menjagamu dari jauh. Berhentilah menunggu, udara malam tak pernah baik untukmu. Maaf, aku tak pernah berani menghampirimu lagi, semuanya akan terlalu singkat dan menyakitkan.  Tapi percayalah, suatu saat hujan akan kembali menyenangkan.

TAMAT




Selasa, 29 Juli 2014

All this Pain

how can you talk like as you never know how deep the pain I feel?
I'm getting used to this pain. would you let me feel strange for the second time?
Sir, until whenever, there will always something doesn't going like usually
You disappeared after I was already dreaming of a happiness with you

Everyday I try to learn about what is love?
a sincerity perhaps.  
I stand
see from a distance how you give all yr feel for someone else
I'm getting used! 
but now, you will come just to hope we'll always fine

come, go home, and no more 
don't you think about my feelings after that coming?
You can go back to work and do other fun activities with your new life
while I, perhaps I will again felt pain in the eyelid due your stare

I do not deny that I really really feel something like longing
but, however. 
I can't!

July 2014 

Senin, 21 Juli 2014

Sesaat setelah melihat wajahmu

Yo, ketika kau tak memiliki satu cermin pun untuk melihat seperti apa wajahmu hari ini, tak usah khawatir, ia akan tetap menatap dengan sangat mencintaimu dan menetap selama itu !

Rabu, 16 Juli 2014

Polemik Sastra Sufistik, Profetik, dan Religius


Essay Resna J Nurkirana 

link cerpen rumah yang terang

Akan menjadi sia-sia ketika kita harus mencari berbagai macam penjelasan untuk kemudian kita jadikan sebagai acuan dalam membuat sebuah pengelompokan atau pendikotomian. Seperti halnya para sufi, mereka tidak lagi mengelompokan seperti apa ahli surga dan seperti apa ahli neraka. Para sufi yang menjalankan ilmu tasawuf akan lebih fokus mencari cara untuk bisa benar-benar mencintai Tuhannya. Pun dengan karya sastra, barangkali kurang bijak jika kita menyelami suatu karya sastra hanya untuk mengelompokkan atau menentukan jenis sebuah tulisan. Mencontoh para sufi, seharusnya seorang penulis atau pembaca tidak perlu lagi dibingungkan dengan penamaan sebuah karya, melainkan disibukkan dengan pencarian makna dan hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya. Hanya saja, pengelompokkan sebuah karya sastra memang sering kali menjadi sebuah perdebatan kecil di kalangan penikmatnya. 

Sastra Sufistik
Proses yang dijalankan oleh para sufi dalam mencari cinta Tuhannya berpotensi besar melahirkan sebuah dorongan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk karya. Karena para sufi biasanya menggunakan tamsil atau simbol-simbol dalam mengungkapkan gagasan dan pengalaman rohaninya, maka karya yang dibuat oleh para sufi biasanya berupa musik, tarian, gaya arsitektur, dan tentu saja karya sastra.  

Karya sastra yang paling dekat dengan para sufi biasanya puisi.  Namun tidak menutup kemungkinan para sufi juga menulis karya sastra lain seperti hikayat, cerpen, dll. Jelas kiranya jika kita menemukan sebuah karya sastra yang berhubungan dengan keesaan Tuhan dan ditulis oleh seorang sufi maka karya tersebut dapat kita sebut sebagai sastra sufistik.

Sastra sufi ini sendiri berkembang pada abad ke 8 dimana para penyair sufi mulai banyak dikenal seperti Rabi’ah al adawiah, imam al-ghazali, Jalaluddin Rumi dll. Di Indonesia sendiri Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, dan K.H Hasan Mustafa ialah para sufi yang aktif menulis puisi.Yang menjadi permasalahan adalah jika kita menemukan puisi atau cerpen yang berisi tentang pengalaman tokoh seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden, namun penulisnya bukan seorang sufi, apakah karya tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sastra sufi? Atau jika ada seorang sufi menulis cerita mengenai hal-hal berbau politik dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan apakah tulisannya tetap dinamakan sastra sufi?
Sederhananya, penyebutan sastra sufi apakah bergantung pada siapa yang menulisnya atau apa yang dtulisnya?

Aprinus Salam dalam bukunya Oposisi Sastra Sufi (2014:4) menyatakan bahwa sastra sufi ialah karya sastra yang mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika kita mengamini pendapat Aprinus, maka jelas terjawab bahwa suatu karya sastra disebut sastra sufi jika mengandung prinsip-prinsip yang disebutkan di atas.

Abdul Hadi WM (1985) sendiri menyebutkan beberapa tokoh sastrawan yang menulis sastra sufi diantaranya para prosaik seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji, Sapardi, dll. Meskipun tokoh-tokoh yang disebutkan di atas tidak dikenal sebagai seorang sufi, namun sebuah sumber menyebutkan bahwa mereka juga mempelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius termasuk menerjemahkan beberapa karya penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib. Kesimpulannya, penyebutan sastra sufi bukan dilihat dari siapa penulisnya tapi apa yang ditulisnya.

Sastra Profetik
Lantas bagaimana dengan sastra profetik? Beberapa minggu lalu saya mendengar seseorang menyatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menyinggung ramalan tentang masa depan, beberapa lagi menyamakan profetik dengan sufistik, beberapa yang lain menganggap bahwa sastra profetik merupakan sebuah kajian. 

Kuntowijoyo dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etik dan Struktur Sastra menyatakan bahwa sastra profetik ialah sebuah karya sastra yang mencerahkan. Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Sehingga ia menyebut sebuah sastra dengan sebutan profetik apabila karya tersebut berisi tentang hal-hal yang mengajak manusia menuju kebenaran, melanjutkan tradisi kerasulan.

Untuk profetik ini saya mengkaji sebuah cerpen berjudul “Rumah Yang Terang” karya Ahmad Tohari. Cerpen ini mengisahkan seorang anak yang harus menerima cemoohan tetangganya dikarenakan keputusan Ayahnya yang menolak untuk memasang listrik. Keputusan Ayahnya telah merugikan dua tetangga yang berada di belakang rumahnya. Alhasil ayah dari tokoh aku dituding sebagai orang yang bakhil atau seorang pemelihara tuyul. Tokoh aku yang merasa sangat  terganggu dengan gunjingan warga akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan alasan Ayahnya tidak mau memasang listrik. Seperti kutipan di bawah ini.

Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih menyakitkan.

Jawaban Ayah dari tokoh aku yang masih disembunyikan oleh penulis membuat pembaca bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi alasan tokoh ayah enggan memasang listrik. Penulis pun memberikan jawaban pada akhir cerita dimana jawaban tokoh ayah pada mulanya mengecewakan saya sebagai pembaca.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”.

Jika ditilik kembali, tokoh Ayah memang seseorang yang begitu relijius. Hal ini ditandai dengan seringnya ia berdzikir dengan tasbih. Keputusan tokoh Ayah untuk tidak memasang listrik cenderung mengarah pada seseorang yang mendalami ilmu tasawuf. Dalam Jurnal Sajak (2011:42) Abdul Hadi WM menyatakan bahwa para sufi biasanya menolak terikat pada dunia dan tidak menyukai materialisme. Listrik bisa disebut sumber dari segala bentuk materialisme. Televisi, radio, laptop, handphone semunya dibantu untuk hidup dengan listrik. Sekilas dapat disimpulkan bahwa tokoh Ayah memang menyerupai para sufi. Namun Abdul Hadi WM juga melanjutkan dalam esaynya, meskipun sufi menolak materialisme, para sufi tetap mencintai kemanusiaan dan keindahan dunia, karena alam kejadian dan kemanusiaan merupakan manifestasi daya cipta dan cintaNya. Keputusan penulis untuk menyimpulkan bahwa tokoh Ayah tidak menghendaki listrik dikarenakan agar mendapat cahaya di alam kubur, cenderung memunculkan sikap tokoh Ayah yang hanya mementingkan diri sendiri. Mengabaikan keluhan dua tetangganya yang berada di belakang rumahnya. Sehingga jawaban Ayahnya yang menyatakan demikian saya rasa telah mematahkan pendapat bahwa ayahnya mencoba menjalani ilmu tasawuf. 

Yang perlu digarisbawahi ialah, untuk menentukan sebuah cerpen apakah sufistik atau profetik bukan hanya dilihat dari identitas atau watak tokoh, melainkan tema, isi, dan tujuan penulis. Jika kita mengkaji lebih jauh, justru unsur profetik lah yang begitu mendominasi. 

Listrik barangkali diibaratkan sebagai sumber dari segala cahaya. Bahkan cahaya listrik mampu membuat bulan tak lagi bermakna di mata orang-orang. Keputusan tokoh ayah untuk menolak listrik agar tidak kekurangan cahaya di alam kubur bisa jadi memiliki maksud bahwa listrik sebagai sumber cahaya bisa saja menyita waktu hidupnya untuk hal-hal yang mudarat dan melupakan akhirat. Artinya, cahaya di alam kubur yang dimaksud tokoh ayah bukan cahaya dalam makna sebenarnya melainkan keselamatan kubur.

Dalam essaynya Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menentang moderenisitas dan sastra yang mampu memanusiakan manusia (amar maruf). Cerpen Rumah yang Terang menjelaskan kepada pembaca bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia. Manusia sejatinya diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhannya, hanya saja arus moderenisasi yang menjadikan IPTEK sebagai kebutuhan manusia telah membuat manusia lupa untuk apa sebenarnya manusia diciptakan.

Dari pemaparan di atas, maka akan ditarik kesimpulan bahwa cerpen Rumah yang Terang bisa disebut sastra profetik. Sastra yang menunjukan nilai-nilai transenden. Sastra profetik lebih membawa pencerahan dan tidak melulu sibuk mengurus hablumminallah (melangit) tetapi juga hablumminannas (membumi).  Dalam cerpen ini kita tidak digiring kepada suatu hal yang bersifat meng-esa-kan Tuhan dan sebagainya. Penulis lebih fokus pada bagaimana seharusnya kita hidup di dunia, bagaimana seharusnya bersikap kepada orang tua, tetangga, dan bagaimana cara kita menyikapi perkembangan zaman.

Setelah mengkaji cerpen Ahmad Tohari, saya menyimpulkan bahwa sastra sufistik dan profetik jelaslah memiliki perbedaan. Sastra sufistik lebih bersifat spesifik sedang profetik lebih luas lagi karena di dalamnya bukan hanya membahas Ketuhanan melainkan kemanusiaan, pencerahan jiwa dan pencerahan sosial. kemudian bagaimana dengan sastra religius?

Semua karya sastra pada hakikatnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan maka bisa disebut sastra religius. Lagi pula jika melihat kembali konsep dulce dan utile sastra memang sudah seharusnya membawa nilai-nilai kebaikan atau pun kebenaran. Sehingga, sastra profetik dan sastra sufistik tentu saja akan masuk kedalam kelompok sastra religius.

Mengelompokkan karya sastra pada akhirnya cenderung sia-sia. Seperti yang dikemukakan oleh Suno Wasono dalam Jurnal Sajak (2011:92) bahwa menggolong-golongkan karya ke dalam mazhab-mazhab atau aliran merupakan suatu pekerjaan yang sulit bahkan mustahil untuk dilakukan karena kenyataannya batas-batas antara aliran tidak pernah tegas. Hal ini juga barangkali berlaku untuk menggolongkan apakah karya tersebut masuk ke dalam karya sufistik, profetik, atau relijius. Sederet mazhab bisa saja dikemukakan, tetapi ketika ciri itu dihadapkan langsung pada karya, akan ditemukan suatu kenyataan lain yang membuat kita harus berpikir ulang. 

*disampaikan di reboan Asas UPI 16 Juli 2014

Sabtu, 12 Juli 2014

Sepuluh Tiga Sembilan

Hari ini pagi serupa sore,
dan selepas hujan serupa rindu yang membuat kuduk menggigil gemetar.

ialah ketabahan,
angin dingin musim semi yang tak bisa kembali
ratusan ranting yang menunggu dedaunan
dan aku yang harus menyikapi kepergian.

Pagi ini tak dapat lagi aku bedakan antara marah dan kerinduan
Mengingatmu ialah penyesalan antara perpisahan atau pertemuan
Serupa langit yang tengah telanjang
aku ingin berterus terang aku masih mengharapkan sebuah kepulangan.

Juli 2014


Kamis, 15 Mei 2014

Lagi

Ksatria berkuda itu datang. Dari balik jendela kamar aku mendengar ia berteriak "Nona, aku kembali membawa pagi untukmu"

Senin, 05 Mei 2014

Partikel



Bahkan saya masih berharap beberapa bintang yang sedang saya lihat detik ini, bisa jatuh serupa guguran daun tadi sore. Tidak perlu cemas bumi terbakar, karena saya masih menganggap bintang bukanlah benda luar angkasa yang besar dan panas, ia hanya partikel bercahaya, ringan, dan bisa luruh kapan saja saya mau. Bukan mustahil, jika ternyata segala hal tentang bintang tidak sama dengan apa yang digambarkan oleh para ilmuan, tapi percis dengan apa yang saya bayangkan. Seperti malam ini, saya membayangkan bintang adalah kamu. Berjarak dan bisa berdialog dengan cara yang berbeda. 

Mei 2014

Senin, 21 April 2014

Memoar

Puisi Resna J Nurkirana

aku masih begitu sibuk memaknai matamu, yang teduh
meluruh oleh lengkung senyum diantara lesung pipimu

Kuratapi langkahmu yang makin jauh
tak berani mengejarmu
terlebih menunggu

suatu hari semua hari akan kembali baik
tanpamu
meski tentangmu
masih utuh di sini

April 2014

Jumat, 04 April 2014

Tentang Tak Ada

 saya butuh rel kereta, anak-anak, dan hujan.
tapi malam ini tidak ada hujan, tidak ada kendaraan,
dan anak-anak sudah tidur.

Maret 2014

Minggu, 23 Maret 2014

Mencari yang Hilang di Wajahmu

Puisi Resna J Nurkirana

Subuh adalah malam yang beranjak pulang
seperti tatapanmu yang perlahan padam
air mukamu yang kini surut
dan senyumanmu yang semakin susut

Siang adalah pagi yang menjauh
seperti aku yang meranggas dari ingatanmu
yang tak lagi mampu menghadirkan rindu di ubun-ubunmu

Sore adalah senja yang tenggelam menyambut malam
dan malam adalah aku yang kelelahan
mencari sesuatu yang hilang di wajahmu

Februari 2014

Sabtu, 15 Maret 2014

"KEJENUHAN SAYA MEMBACA SAIA"

Esai Resna J Nurkirana

Saia merupakan kumpulan cerpen terbaru Djenar Maesa Ayu yang terbit pada bulan Januari 2014. Sebelum Saia, Djenar telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen lain diantaranya Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Nayla, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, dan T(w)itit. Tulisan-tulisan Djenar memang lebih sering berbicara mengenai perempuan, seks, dan hal semacamnya. Namun dalam esai ini, saya tidak akan berbicara mengenai feminisme ataupun pornografi, melainkan bunyi, irama dan rasa jenuh.

"Ketika Dan pertama kali bisa mengingat, itulah awal ia mengenal Lalu. Saat itu Lalu adalah orang yang sangat lugu. Dan ingat betul hari pertama Lalu pergi ke sekolah. Rambutnya yang di kucir kuda berpita merah. Tangannya digandeng oleh pembantu. Sementara anak-anak lain datang diantar Ibu. Gerak tubuhnya kaku. Sorot matanya ragu. Lalu seolah tenggelam di dalam lautan orang tua, murid, dan guru." (Kutipan cerpen DAN LALU-Djenar Maesa Ayu)

Kutipan di atas adalah salah satu paragraf yang begitu memperhatikan bunyi. Penulis begitu teliti ketika memilih diksi-diksi yang dipakai dalam mengungkapkan sebuah alur. Tapi bisa dibayangkan, ketelitian penulis mengenai bunyi tersebut, kita dapatkan pada setiap paragraf, pada setiap cerpen.

Bunyi begitu identik dengan puisi. Namun sebenarnya, bunyi bisa berlaku pada bentuk karya sastra lainnya semisal prosa. Pengertian bunyi itu sendiri menurut Pradopo dalam bukunya Pengkajian Puisi (22: 2012) ialah  unsur puisi untuk menciptakan keindahan dan tenaga ekspresif. Menurutnya, bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.

Dalam cerpen saya berjudul Alegori Hujan, saya mencoba memainkan bunyi pada diksi-diksi yang berada di akhir kalimat pada beberapa paragraf. Namun untuk beberapa pembaca, mereka justru merasa terganggu dengan usaha saya untuk membuat tulisan lebih terasa liris tersebut.

Ia menyandarkan punggungnya di tiang lampu jalan yang berkarat, di bawah cahaya yang hampir sekarat. (Kutipan cerpen Alegori Hujan-Resna J Nurkirana)

Jika berbicara mengenai pembaca yang merasa terganggu dengan adanya permainan bunyi, maka akan sangat bersifat subjektif. Beberapa pembaca bisa jadi tidak mempermasalahkan dominasi bunyi tersebut, beberapa menyukai atau sebaliknya.  Namun pada pembahasan ini, saya akan menunjukkan betapa sesuatu yang berlebihan bisa membuat kita jenuh dan bosan.

Pada dasarnya, tulisan yang disebut memiliki unsur bunyi tidak selalu harus memiliki awalan atau akhiran yang sama. Bunyi itu sendiri dibagi menjadi dua, eufoni dan kakofoni. Merdu dan tidak merdu. Begitulah bunyi. Sehingga jika kita menemukan sebuah tulisan yang tidak berakhiran sama pada suku kata terakhirnya, tulisan tersebut tetap dikatakan memiliki bunyi, yaitu bunyi yang tidak beraturan atau kakofoni.

Jika memanga bunyi tersebut terdengar sama dan teratur, maka kita masuk dalam pembahasan irama. Pradopo mengartikan irama merupakan bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi bunyi yang hidup. Jika kita melihat kembali kutipan cerpen Dan Lalu karya Djenar di atas, maka dapat  disimpulkan bahwa Djenar memasukan bunyi yang berirama dalam tulisannya. Akhiran vokal dan konsonan di setiap akhir kalimat selalu sama. Berikut kutipan paragraf berirama lainnya dalam buku Saia.

Nayla terpogoh-pogoh sepanjang koridor. Dipacunya kembali semangat yang sempat kendor. Ia sadari jika pertemuan kali ini sedetik pun tak boleh molor. Demikian yang tempo hari berkali-kali diingatkan bosnya karena klien mereka adalah seorang pesohor. (Kutipan cerpen Nol Dream Land- Djenar Maesa Ayu)

Kafe yang menghadap persis ke pantai itu terlihat masih sepi. Hanya ada dua meja yang sudah terisi. Tapi Nayla sama sekali tak peduli. Matanya bersemi. Bibirnya berseri. Hatinya merasa pasti. Akan datang yang ia nanti. (Kutipan cerpen Sementara-Djenar Maesa Ayu)

Ibu Pram mendengarkan semuanya dari luar dengan hati meradang. Ia menyesal telah pulang. (Kutipan cerpen Kulihat Awan-Djenar Maesa Ayu)

Di atas adalah tiga dari enam belas cerpen Djenar dalam buku Saia. Bisa dibayangkan ketika membaca enam belas cerpen dengan bunyi berirama di setiap paragrafnya. Hakikat bunyi yang tadinya sebagai hiasan, djenar perlakukan seolah bunyi adalah kewajiban. Jika memang tujuan Djenar adalah untuk mengedepankan estetika bahasa, justru usahanya malah menghilangkan keindahan bahasa itu sendiri.  Jelas sekali bahwa Djenar memaksakan diksi-diksinya agar berirama sama. Hal itu terlihat dari diksi atau ungkapan yang sebetulnya bisa diganti dengan diksi yang memiliki makna lebih tepat. Seperti kalimat karena klien mereka adalah seorang pesohor. Maksud Djenar mengungkapkan bahwa tokoh klien adalah seorang pesohor, tidak memiliki penjelasan apa pun sebelum atau setelahnya. Djenar seolah larut dalam euforia bunyi bahasa yang ia ciptakan. Kalaupun memang makna setiap diksi yang berirama tersebut sangat mendukung maksud cerita, Djenar seharusnya memperhatikan pula kejenuhan yang akan dialami pembaca.

Saya teringat cerpen Avianti Armand yang juga di dalamnya terdapat permainan bunyi. Dan saya begitu larut di dalamnya.

Di atas Nunnuies, matahari berkedip-kedip ketika segerombolan besar camar terbang melintasinya. Mereka menjerit-jerit  seperti anak lapar, sambil mengepak-ngepakkan sayap ke tubuh. Begitu riuh. Tapi penduduk kota kecil di tepian Gibraltar itu tak sempat memperhatikan camar-camar di langit. Mata mereka terpaku ke satu titik di kakinya.  (Kutipan cerpen Dongeng dari Gibraltar- Avianti Armand.)

Dalam kutipan di atas, Avianti terlihat memainkan bunyi. Avianti berhasil menjadikan bunyi sebagai unsur estetik yang mampu menciptakan suasana dan menimbulkan imaji yang jelas. Jika kita mengamini pendapat Pradopo yang menyatakan bahwa bunyi adalah hiasan dalam sebuah karya sastra, maka sudah selayaknya kita tidak memakainya secara berlebihan.

Pada akhirnya, permasalahan bunyi ini barangkali dikembalikan kepada selera pembaca. Hanya saja, tulisan Djenar akan lebih sempurna jika unsur bunyi tidak mendominasi.


Maret 2014