Sabtu, 11 Januari 2014

Kajian Cerpen oleh Resna J Nurkirana



“Tanda-Tanda Kebinatangan Manusia dalam Cerpen Kupu-Kupu
Karya Avianti Armand”

A.    PENDAHULUAN

Bahasa merupakan sistem tanda. Tanda merupakan sesuatu yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. Ketika kita menyebut kupu-kupu maka pikiran kita akan mengarah pada sebuah hewan bersayap indah. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyi pada seni musik atau warna pada lukisan (Pradopo, 2012:121). Warna dan bunyi belum memiliki arti sebelum digunakan untuk berkarya, tetapi bahasa sudah memiliki arti meski belum dimasukkan ke dalam karya sastra. Kupu-kupu dalam sebuah karya sastra bisa jadi bukan mengarah pada gambaran hewan seperti yang kita pikirkan, tapi  mengarah pada seorang perempuan yang masyarakat sebut pelacur. Begitulah kata dalam karya sastra memiliki fungsi tanda. Di masyarakat, pelacur lebih dikenal dengan sebutan kupu-kupu malam. Dalam novel ini Avianti Armand menceritakan tokoh pelacur yang ia umpamakan sebagai kupu-kupu dengan sayap koyak dan warna pelangi.
Setelah dianalisis, cerpen ini tidak cukup hanya dikaji dengan menggunakan struktural. Diksi dan perumpamaan yang diungkapkan pengarang bersifat multitafsir. Maksud pengarang tidak dapat dimengerti secara menyeluruh jika analisis cerpen ini hanya berpaku pada unsur-unsur di dalam teks. Maka dari itu cerpen ini memerlukan pengkajian tanda-tanda.

B.     TEORI SEMIOTIKA

Secara definitf, menurut Paul Cobley dan Lizta Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang berarti tanda. Dalam pengeritan lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan menjadi efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus (Ratna, 2013:97).
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah system tanda. Menurut North (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali jika diinterpretasikan sebagai tanda. Lebih jauh Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer (Ratna, 2013:112).
Nyoman Kutha Ratna (2013) melanjutkan bahwa bahasa metaforis konotatif, dengan hakikat kreatifitas imajinatif, merupakan faktor utama mengapa karya sastra didominasi oleh system tanda. Sebagai akibat kemampuan sastra dalam menjelaskan tanda-tanda, maka dapat ditentukan ciri-ciri dominan periode tertentu, misalnya pandangan dunia dan ideologi kelompok, jenis hegemoni yang sedang terjadi, dan berbagai kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat, yang secara objektif sulit dideteksi.  

C.    TANDA-TANDA KEBINATANGAN MANUSIA

Mencari makan, berkembang biak, tumbuh, dan memiliki nafsu merupakan kesamaan yang dimiliki manusia dan binatang. Perbedaan yang paling mendasari keduanya ialah akal dan pikiran. Akal dan pikiran ini yang akhirnya membawa manusia menempati posisi sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan makhluk lain. Hewan mengandalkan instingnya untuk melakukan sebuah tindakan. Berbeda halnya dengan manusia yang selalu berpikir untuk melakukan sesuatu, baik atau buruk selalu dijadikan pertimbangan. Ketika manusia tidak menggunakan akal dan pikirannya maka muncul istilah bahwa manusia memiliki tanda-tanda kebinatangan.
Tanda-tanda kebinatangan manusia ialah munculnya sikap atau perilaku binatang pada seorang manusia. Dalam cerpen Kupu-kupu, manusia digambarkan layaknya binatang. Ketika lapar, binatang akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan makan. Binatang bisa saja mencuri, membunuh, atau bertarung sedangkan dalam cerpen ini manusia dikisahkan mencari makan dengan cara menjual diri dan menjual orang lain.
     
D.    KAJIAN

1.      Sinopsis

               Cerpen kupu-kupu mengisahkan seorang perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Perempuan itu seolah dilahirkan tanpa memiliki sebuah pilihan. Ia dibeli oleh seseorang seharga nasi. Kini perempuan itu tidak bisa pergi dari kehidupannya yang terlanjur hitam. Setiap malam ia menjajakan dirinya di jalan, datang ke rumah pelanggan, dan selalu pulang membawa uang dan setumpuk dendam. Perempuan itu menganggap kota yang ditempatinya serupa hutan berisi binatang-binatang yang butuh hiburan. Ia menceritakan suatu malam ketika harus menemui babi-babi, sekelompok anjing hutan, dan serigala tua di sebuah rumah besar.
               Meski kemungkinan menemukan kebahagiaan itu sangat kecil, perempuan yang menyebut dirinya sebagai kupu-kupu tersebut tetap memiliki sebuah harapan.

2.      Luruhnya Sifat Kemanusiaan
                   Simbol-simbol yang menyamakan kota dengan hutan, manusia dengan hewan, pelacur dengan kupu-kupu, lelaki hidung belang dengan babi atau anjing, bisa jadi merupakan maksud pengarang untuk menggambarkan keadaan yang ada di masyarakat saat ini. Dimana manusia tidak lagi menggunakan akal dan pikirannya ketika akan melakukan sesuatu. Dalam cerita kupu-kupu, tanda-tanda kebinatangan manusia digambarkan dengan adanya proses jual beli bayi perempuan untuk dijadikan pelacur. Manusia telah benar-benar kehilangan hakikatnya sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya. Ketika seorang ibu rela menjual anaknya untuk sesuap nasi, maka sifat-sifat kemanusiaannya perlu dipertanyakan.
                   Ketika manusia tidak bisa melawan hawa nafsunya dan cenderung selalu ingin memuaskan birahinya maka manusia tidak lagi memiliki perbedaan dengan binatang. Babi-babi, anjing hutan, serigala tua yang diceritakan sebagai pelanggan tokoh perempuan tidak lagi memikirkan dosa dan perasaan istri-istrinya.

3.      Sembolisasi Peristiwa
Di langit kadang kau temukan keanehan. Selarik putih yang bukan awan, bukan sinar. Seperti garis lintas, yang tak jelas ujung dan asalnya. Ada dan hilang. Bergetar sayu dari jauh, dan mendekat – hingga aku bisa melihat – berjuta kepak sayap kecil. Berkerumun. Berpencar. Lalu luruh seperti keping-keping salju.
Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri ini?
Paragraf di atas merupakan imajinasi tokoh pengarang yang menceritakan langit dan keanehannya. Keanehan yang dimaksud pada paragraf tersebut di atas adalah munculnya sebuah garis berwarna putih yang melintas, bergetar kemudian mendekat. Diksi garis lintas tesebut mungkin ditunjukkan untuk kepak sayap yang ada di kalimat selanjutnya. Jadi keanehan di langit tersebut menggambarkan adanya jutaan kepak sayap yang kemudian jatuh ke bumi. Kepak sayap itu lantas diperjelas dengan munculnya kalimat –Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sayap yang dimaksud adalah sayap kupu-kupu.
Simbolisasi peristiwa di atas bisa jadi dimaksudkan untuk menganalogikan kemunculuan para perempuan malam. Seperti yang telah kita kenal di masyarakat, sebutan kupu-kupu malam ditujukan untuk seorang perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Pengarang menggambarkan para perempuan tersebut dilahirkan ke muka bumi untuk menjadi pelacur yang tidak jelas ujung dan asalnya.  Mereka tidak tahu oleh siapa dilahirkan dan tidak tahu kepada siapa akan kembali. Perumpamaan -luruh seperti keping-keping salju- menggambarkan bahwa jumlah pelacur di negeri ini sudah tidak terhitung lagi.
Setiap orang toh harus menjual sesuatu untuk bertahan hidup. Sebagian menjual mimpi, sebagian menjual peluh. Ia menjual mimpi berpeluh. Itu sah saja di dunia di mana setiap orang akan mengambil apa yang mereka butuhkan. Dan ia tak malu, meski tetap akan berdusta. Lebih memalukan bila tak punya apa-apa untuk dijual.
Maksud paragraf di atas ialah pembenaran yang diungkapkan pengarang mengenai seseorang yang harus menjual diri. Menjual diri dalam paragraf tersebut disimbolkan dengan menjual mimpi berpeluh. Menjual mimpi dianggap lebih baik daripada tidak memiliki apapun untuk dijual.
Tapi bila malam mulai turun dan birahi naik, tangan-tangan hitam akan melepaskan kami, menghambur keluar dari celah-celah kota yang sempit dan tak pernah sama. Kenakan topeng kalian, teman. Malam ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur.
Maksud kalimat Tapi bila malam mulai turun dan birahi naik- ialah malam digambarkan sebagai waktu dimana manusia memiliki keinginan lebih untuk memuaskan nafsu seksualnya. Tangan-tangan hitam akan melepaskan kami- Saat malam tiba para perempuan itu akan dipersilahkan keluar untuk bekerja. Malam ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur-. Pengertian berpesta dalam kalimat tersebut bukan merayakan sesuatu dengan jamuan makan atau minum, melainkan melayani para lelaki hidung belang yang membutuhkan hiburan dari perempuan malam.
Dikenakannya sayap yang koyak di tepi, dan terbang. -Sayap yang koyak di tepi bisa diartikan sebagai pakaian yang perempuan itu kenakan untuk bekerja atau semangat yang terpaksa ia tumbuhkan setiap malam hanya untuk bertahan hidup.
Gadis itu melayang dan menari, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Terkepak, meski berat dan basah. Ia menari melintasi jalan layang dan mobil terbang, juga kolong jembatan, lalu berhenti – tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang telanjang.
Paragraf di atas menceritakan saat perempuan tersebut mulai berjalan mencari pelanggan. Berat dan basah- bisa jadi menunjukan sebuah ketidakikhlasan dan kesedihan perempuan tersebut. Lalu berhenti, tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang telanjang. Maksud dari kalimat tersebut bisa jadi menceritakan si perempuan behenti berjalan lalu teringat tentang kehidupannya yang kelam.
Anak nakal, bentaknya, sambil memukuli pantatku. Berkali-kali. Anak nakal, dampratnya, sambil melecuti punggungku. Berkali-kali. Anak nakal, desahnya, sambil menembusiku. Berkali-kali. Dengan mata terpejam dan seringai tanpa gigi. Aku akan pura-pura memohon. Ampun. Ampun. Ia akan segera usai dan jatuh tertidur. Sesudahnya, aku harus menyelimutinya.
Paragraf di atas menceritakan adegan-adegan yang dilakukan si perempuan saat bekerja. Ia harus melayani pelanggannya sebaik mungkin. Ia selalu menuruti apa yang diperintahkan. Hal terpenting adalah ia mendepat upah setelahnya.

4.      Simbolisasi binatang
3.1 Kupu-kupu
Tapi aku bukan anjing, cuma kupu-kupu, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Anjing-anjing tak akan bisa melukaiku. Tidak dengan buntut yang terselip di sela kaki belakang, dan lidah yang selalu terjulur. Aku akan terbang, sebelum mereka sempat menyalak.
Kupu-kupu yang dimaksud pada paragraf tersebut ialah seorang perempuan yang bekerja sebagai pelacur. Hal ini diperkuat dengan pengakuan tokoh aku sebagai berikut.
3.2 Babi-babi
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal babi-babi dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk. Babi-babi akan menyukai apel-apel kecil di dadaku.
Babi-babi itu merupakan sebutan tokoh aku untuk para pelanggannya yang kaya dan rakus.
1.3  Anjing hutan
Tak jauh dari situ, selemparan tulang saja, akan kautemukan rumah-rumah anjing – tersembunyi di balik belukar yang berduri. Hati-hati. Duri-duri itu pernah merobekku, membuatku tak utuh lagi. Kau dengar lolongan itu? Anjing-anjing hutan akan tak sabar menanti saat bermain. Mereka bilang kuda-kudaan. Kubilang, ini anjing-anjingan.
Sama halnya dengan babi, anjing juga merupakan pelanggan tokoh perempuan. Perbedaannya terletak pada tempat tinggal. Babi-babi tinggal di pohon raksasa sedangkan anjing-anjing tinggal di sebuah rumah. Hal tersebut menandakan bahwa anjing-anjing itu tidak lebih kaya dari babi hutan, hanya saja anjing itu lebih berbahaya karena memiliki istri yang bisa melukai si perempuan kapan saja.
3.4 Serigala Tua
Lalu hinggap di sebuah rumah besar tengah hutan. Di sana telah menunggu seekor serigala tua yang telah kehilangan hampir semua giginya.
Serigala tua adalah sebutan bagi pelanggan tokoh perempuan yang sudah tua tetapi sangat kaya. Hal ini diperkuat dengan kalimat yang menceritakan bahwa si perempuan selalu mampu membeli sekeranjang roti dan apel untuk sebulan setelah melayaninya.

5.      Simbolisasi Benda
4.1 Merah, jingga, hijau, dan jambon.
Telah dikenakannya merah pada bibirnya dan jingga pada kedua puluh kuku kaki dan tangannya. Dia memulas hijau pada kelopak mata, juga jambon pada tinggi tulang pipinya.- Kupu-kupu Avianti Armand
Dalam paragraf di atas penulis tidak menggunakan nama objek secara langsung melainkan sifat dari objek itu sendiri. Misalnya diksi merah yang mengacu pada alat kosmetik bernama lipstick, jingga yang mengacu pada kuteks, warna hijau yang mengacu pada blash on, dan diksi jambon yang mengacu pada shadow. Gaya penceritaan tersebut merupakan upaya penulis untuk mempertahankan estetika dan kelirisan bahasa yang sudah dibangun dari awal cerita.
4.2 Apel-apel kecil
Babi-babi akan menyukai apel-apel kecil di dadaku.
Apel-apel kecil yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah puting payudara si perempuan. Hal ini dikarenakan perumpamaan apel tersebut mengarah pada hal-hal berbau seksual.
4.3 Sabun dan sepatu kaca
Kau akan sanggup membeli sabun wangi sesudahnya, dan sepasang sepatu kaca
Sabun wangi dan sepatu kaca memiliki pengertian segala kebutuhan si perempuan untuk menunjang kehidupannya.

2.     Simbolisasi Tokoh
              4.1 Seorang Ibu
              Pada suatu ketika yang mungkin, seorang ibu yang bukan ibunya menarik tubuh mungilnya dari debu. Di matanya ada teduh. Apa maumu, tanya gadis kecil itu. Ibu mengernyit
              Seorang ibu itu merupakan tokoh protagonis yang hadir dalam mimpi si perempuan. Ibu tersebut kemudian mengajarkan banyak hal. Tentang tawa dan lupa misalnya.

              4.2 Peramal Buta
            Ibu tadi menoleh padanya dan menggeleng. Tawa tak selamanya tulus dan lupa akan menggerogotimu. Suatu ketika tawa akan jadi air mata, dan lupa membolongi kepalamu. Tubuhmu akan kosong seperti mayat. Jika terlena, kau takkan bisa kembali. Tapi kau harus berdiri, dan katakan: Aku mau Peramal Buta!
              Dalam cerita sebelumnya, Ibu tersebut menawarkan sebuah sirkus yang akan membuat si perempuan tertawa bahagia. Tapi Ibu itu juga mengingatkan bahwa tawa akan jadi air mata dan lupa akan menggerogotinya. Artinya kebahagiaan hanya akan datang sementara. Setelah itu Ibu tadi meminta si perempuan untuk berteriak tentang peramal buta. Peramal buta diceritakan selalu melihat lebih jernih dari mata. Peramal buta bisa jadi diartikan sebagai perumpamaan dari hati. Hati manusia terkadang selalu tahu mana yang baik dan mana yang salah. Hati juga sesekali bisa menebak sesuatu yang akan terjadi. Mungkin karena itulah penulis mengumpamakan hati dengan peramal buta.  

              4.3 Tangan-tangan hitam
               Aku ingin pergi. Entah dalam gelembung sabun. Entah dengan sapu terbang. Tidak lewat pintu, tentu. Tangan-tangan hitam akan menahanku. Tak boleh pergi, kata mereka, tubuh ini milik kami sejak kamu berupa bayi yang kami beli dengan nasi. Kamu berhutang, tangan-tangan hitam akan berseru. Aku telah membayar dengan tubuhku, protesku. Seumur hidupku.
              Tangan-tangan hitam yang dimaksud penulis ialah orang yang telah membeli si perempuan untuk dijadikan pelacur. Hitam identik dengan kotor dan dosa. Maka penulis menganalogikan para germo dengan tangan-tangan hitam, tangan-tangan yang penuh dengan dosa.
3.     Simbolisasi Alam
5.1 Hutan
Kota ini? Aku menyebutnya: Hutan ini. Lihat, lihat. Awan tersangkut di pucuk-pucuknya dan ribuan kunang-kunang telah terbang. Dengar, dengar, suara-suara purba itu. Binatang-binatang telah bangun dan kini lapar. Aku akan terbang dan singgah di tiap tempat yang menyebut namaku.
Tokoh aku mengumpamakan kota yang ditempatinya sebagai hutan yang pernuh dengan kunang-kunang dan binatang lapar. Ia memilih hutan karena hutan jarang dihuni oleh manusia. Sedang di kota tempat ia tinggal, manusia tak ubahnya seperti binatang, tidak berakal dan berperasaan. Banyak manusia yang rela melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan perut dan duniawinya. 
5.2 Pohon Raksasa
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal babi-babi dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk.
Dikarenakan tokoh aku menganggap kota sebagai hutan. Maka rumah-rumah pelanggannya dianalogikan dengan pohon-pohon raksasa.
3.3  Mimpi
              Angin tiba-tiba bertiup, meluruhkan bintang-bintang yang seketika jadi arang begitu menyentuh tanah. Dalam sesaat yang tak sampai dua detik, kudengar namaku disebut. Aku menoleh, dan di depanku, sebuah jalan setapak telah terbentuk. Dengan batu-batu hitam di antara pohon-pohon yang membungkuk.
              Deskripsi yang menggambarkan peristiwa alam itu merupakan mimpi yang dialami tokoh perempuan. Pengarang dengan lihai menggambarkan mimpi dengan fenomena alam yang mustahil terjadi.

E.     Simpulan
             Dalam cerpen ini, pengarang seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa seseorang yang memilih profesi sebagai pelacur tidak sepenuhnya bersalah. Kesalahan berawal dari hilangnya rasa kemanusiaan dan munculnya sifat-sifat kebinatangan dalam diri seseorang. Hal itulah yang menyebabkan tokoh aku harus menjalani kehidupannya yang begitu menyedihkan. Dengan bahasanya yang liris dan satir, pengarang mampu memunculkan empati pembaca kepada tokoh aku. Tokoh yang seakan-akan menjadi korban dan tidak memilki pilihan. Tokoh yang digambarkan sangat anggun bak kupu-kupu terbuang.
              Penulis mampu menghadirkan tema yang maindstream dengan gaya yang berbeda dan berani. Tanda-tanda yang dibuat oleh penulis kerap memunculkan pertanyaan dan membuat pembaca berpikir. Cerpen Kupu-kupu merupakan karya sastra dengan tanda-tanda yang tidak biasa.

Kajian Puisi Struktural Semiotik

Antara Alegori Atau Realita
oleh Resna J Nurkirana
Abstrak     : Puisi atau sajak merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehinga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata (Pradopo, 2012:14). Puisi memiliki unsur-unsur pembentuk makna yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Puisi  Buat Anna Politkovskaya” karya Bode Riswandi memiliki daya tarik dari berbagai segi, misalnya dari pemilihan diksi, gaya bahasa dan teka-teki yang terkandung di dalamnya. Untuk benar-benar memahami setiap unsurnya secara keseluruhan, diperlukan sebuah pengkajian terhadap puisi tersebut dengan menggunakan teori struktural semiotik. 
Kata kunci Struktur, fenomenologis, heuristik, heurmeunetik, mimetik.

Buat Anna Politkovskaya
Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu.
Lantas orang-orang bernyanyi untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata.
Di checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis ketakutan menjalar di dinding dan di kanal.
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar peristiwa.
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah.
Di jalan-jalan, di tenda-tenda salju turun lebih kerap dari sebelumnya.
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna.
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu.
Dan beratus pasang biji mata di giring ke arahmu.
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna.
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana.

2009, Bode Riswandi
A.    PENDAHULUAN 
Ricoeur dalam Faruk (2012:45) mengatakan bahwa karya sastra menjadi wacana yang tidak bertuan, terpisah dari kenyataan sosial, dan tidak diarahkan pada orang atau kelompok orang tertentu yang ada dalam situasi dan kondisi produksinya. Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh usaha Swingewood yang mencoba membangun pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial. Ia kemudian menggunakan teori mimesis dari plato yang mengatakan bahwa dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan tiruan terhadap dunia ide. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang di dalamnya merupakan rekaan dari sebuah realitas, tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang berada di luar strukturnya.
Puisi dikatakan berstruktur karena ia adalah sebuah keseluruhan yang terbangun dari unsur-unsur yang saling berhubungan di dalamnya (Faruk, 2012:132). Teori analisis struktural memandang bahwa karya sastra berdiri otonom, merupakan satu kesatuan yang utuh, bulat, dan mencukupi dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa teori struktural murni melepaskan sajak dari penyair dan masyarakatnya. Padahal menurut Teeuw dalam Pradopo (2012:125), sebuah sajak (karya sastra) tidak hadir atau tidak dicipta dalam kekosongan budaya. Sebuah karya sastra tidak terlepas dari pengarang yang menuliskannya. Pengarang tidak terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran, atau pandangan dunia pada zamannya ataupun sebelumnya. Juga tidak lepas dari kondisi sosial budayanya. Semuanya itu tercermin dalam karyanya, tercermin dalam tanda-tanda kebahasaan dan lainnya.
            Puisi “Buat Anna Politkovskaya”lahir dari seorang penyair kelahiran tasik bernama Bode Riswandi. Pertanyaan yang pertama kali muncul ketika membaca puisi tersebut adalah identitas seseorang bernama Anna Politskovskaya. Jika hanya menganalisis keterkaitan unsur yang berada di dalam karya, kita bisa mengambil kemungkinan bahwa Anna adalah sosok imajiner yang diciptakan Bode yang digambarkan mengalami beberapa peristiwa tragis selama hidupnya. Tapi jika kita berpijak pada teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa puisi lahir dari kondisi sosial budayanya, bahwa puisi merupakan tiruan dari realita, akan ada kemungkinan bahwa Anna bukan semata-mata tokoh rekaan yang Bode ciptakan dari pikirannya, melainkan tokoh yang benar-benar ada dan hidup di masyarakat. Melalui pendekatan fenomenologis yang menganalisis setiap unsur di dalam karya dan pendekatan mimetik yang menghubungkan karya dengan realita, diharapkan maksud dari puisi Bode dapat dipahami secara menyeluruh.

 
B.     KAJIAN
Pada pendahuluan telah disinggung bahwa sajak merupakan sebuah struktur tanda-tanda yang bermakna. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa sebuah karya sastra dapat dianalisis secara otonom tanpa mengaitkannya dengan pelbagai hal di luar karya.
Dalam Pradopo (2012:14) dijelaskan bahwa karya sastra itu tak hanya meruapakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata atau lapis norma. Norma itu sendiri menurut Rene Wellek (1968:150-151) jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, ataupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan (Pradopo, 2012:14). 
Berikut akan dipaparkan terlebih dahulu analisis struktur dengan menggunakan analisis strata norma Roman Ingarden.
Menurut Pradopo (2012:16) lapis bunyi dalam sajak ialah semua satuan bunyi berdasarkan konvensi bahasa tertentu, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Hanya saja pembicaraan lapis bunyi dalam sebuah puisi difokuskan pada bunyi-bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang mempergunakan efek puitis atau nilai seni. Sajak “Buat Anna Politskovskaya” memiliki beberapa bunyi yang terdengar berirama seperti tertuang pada baris pertama, /Salju yang runtuh dari rambut kelabumu/. Baris tersebut didominasi oleh asonansi huruf u yang menyebabkan puisi tersebut terdengar merdu. Kemudian pada baris ke tujuh, /Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah/ terdapat alterasi huruf h yang menimbulkan suasana pilu dan mencekam. 
Hal ini akan berkaitan erat dengan pemilihan diksi yang ada dalam puisi tersebut. Jika saja puisi ini tidak memerhatikan keselarasan bunyi, bisa saja diksi rambut kelabumu diganti menjadi rambut berubanmu atau misalnya diksi punah diganti menjadi hilang atau mati. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap unsur sajak biasanya saling melengkapi. Diksi yang dipakai akan memerhatikan keindahan bunyi agar menimbulkan irama yang padu. Namun tidak semua puisi terus menerus bermain di ranah bunyi, termasuk sajak di atas. Dapat dikatakan sajak tersebut lebih banyak memiliki bunyi yang tidak merdu atau kakofoni, hal ini bisa jadi bertujuan untuk mendukung sebuah suasana kacau yang ingin dihadirkan pada pembaca.
Bunyi berirama hanya ditemukan pada baris-baris tertentu, selebihnya puisi ini lebih mengedepankan diksi dan gaya bahasa demi memunculkan sebuah suasana yang liris dan tragis. Beberapa diksi yang terdengar asing diantaranya salak, banar, dan peluru makarov. Tiga diksi tersebut sebenarnya bisa saja digantikan dengan lolongan, akar, atau peluru jika ingin membuat pembaca lebih mudah memahaminya. Tapi tidak demikian, puisi ini benar-benar memerhatikan keterkaitannya dengan unsur lain. Tiga diksi di atas mungkin saja bertujuan untuk menambah suasana tegang dalam puisi tersebut.
Selain itu gaya bahasa yang banyak muncul diantaranya metafora, simile, dan personifikasi. /Di checnya kematian itu mudah tumbuh bagaikan rumput/, puisi ini membandingkan kematian dengan rumput yang memiliki sifat mudah tumbuh. Baris ini menggunakan gaya bahasa simile, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding (Pradopo, 2012:62). Dalam baris di atas, simile dibuktikan dengan diksi bagaikan. Pun dengan baris  yang berbunyi /Salju yang runtuh dari rambut kelabumu semacam peluru makarov yang dilempar / menggunakan kata pembending semacam.
Tidak jauh berbeda dengan simile, terdapat gaya bahasa metafora. Perbedaan keduanya hanya terletak pada ada tidaknya diksi pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama dan sebagainya. Dalam puisi di atas, gaya bahasa metafora ditemukan pada baris /Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar peristiwa/. Puisi ini mengumpamakan langit kelabu dengan rambut kelabu tokoh Anna yang mampu menusuk banar/akar peristiwa.
Selain itu gaya bahasa personifikasi ditemukan pada baris /Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju, /dan warna senja lari dari langit kelabu/.
  Personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia (Pradopo, 2012:75). Puisi ini menyuguhkan sebuah fenomena imajinatif dengan menggambarkan tiga hal yang dikiaskan lari dari tempatnya bak manusia yang sudah tidak betah tinggal di rumahnya. Semua hal di atas semata-mata untuk menambah efek puitis sebuah puisi dan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya.
Puisi ini juga memakai sarana retorika yang dinamakan tautologi. Dalam Pradopo (2012:95) menjelaskan bahwa tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali. Aku bernyanyi untukmu, Anna/ ditemukan pada baris ketujuh dan baris kesepuluh. Hal ini bertujuan untuk memberikan penegasan dan pemaknaan yang lebih mendalam bagi para pembaca.
Setelah analisis lapis suara diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang lahir dalam puisi “Buat Anna Politskovskaya” saling menguatkan satu sama lain. Bunyi yang kacau, diksi yang asing, majas-majas mengharukan, dan tipografi yang tidak beraturan merupakan satu-kesatuan yang mampu melibatkan emosi dan perasaan pembaca. 
Bahasa adalah bahan mentah sastrawan (Wellek dan Werren, 1989:217). Jika para pelukis menjadikan kanvas dan cat air sebagai alat untuk melukis, maka penulis menjadikan bahasa sebagai mediumnya.  Dalam bahasa itu sendiri terdapat satuan-satuan bahasa diantaranya fonem, suku kata, kata, kalimat, alinea, bait, dsb. Pun dengan sajak Bode berjudul “Buat Ana Politskovskaya”, di dalamnya terdapat kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kalimat bermakna.
/Salju yang runtuh dari rambut kelabumu /Semacam peluru makarov yang dilempar seseorang ke dada dan kepalamu. / Pada bait tersebut, seseorang yang disebut –mu digambarkan memiliki rambut berwarna kelabu dan menjatuhkan runtuhan salju. Karena sajak ini berjudul “Buat Anna Politskovskaya” maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa seseorang yang digambarkan berambut kelabu ini adalah Anna.  Selain itu Anna dikisahkan terkena lemparan peluru makarov di dada dan kepalanya. Lemparan tersebut dapat diartikan sebagai tembakan, mengacu pada benda yang dilemparkan yakni sebuah peluru yang sudah pasti berasal dari sebuah benda bernama senjata/pistol.
/Lantas orang-orang bernyanyi untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata/ Di checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis ketakutan menjalar di dinding dan di kanal/.  Setelah kejadian penembakan tersebut, banyak orang yang bernyanyi untuk Anna. Nyanyian yang berbicara mengenai nasib serta takdir orang-orang yang bermukim di lobang senjata dapat diartikan sebagai suara-suara atau pendapat orang-orang tentang Anna dan mereka yang berada di medan perang. Itu menandakan bahwa sosok Anna adalah seseorang yang berjibaku dengan hal-hal berbau peperangan. Hal ini dijelaskan lagi pada baris berikutnya yang menyebutkan suatu tempat dimana di tempat tersebut sering terjadi kematian. Puisi tersebut menggambarkan kematian seperti rumput yang mudah tumbuh. Kematian di Checnya seakan-akan menjadi hal yang biasa dan sering terjadi sampai-sampai memunculkan rasa takut dimana-mana.
/Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun tidak sekelabu rambutmu yang menusuk banar peristiwa./ Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah./ Di jalan-jalan, di tenda-tenda salju turun lebih kerap dari sebelumnya./ Tapi nama-nama yang terkuras air matanya lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna./
Bait di atas masih berbicara mengenai hubungan Anna dengan sekelompok bangsa yang dikatakan punah. Dalam bait tersebut digambarkan bahwa kerapnya air mata kesedihan mengalahkan kerapnya salju yang turun di jalan-jalan maupun tenda-tenda. Tenda dapat dihubungkan dengan sebuah pengungsian. Jika ditarik kesimpulan sementara maka Checnya merupakan tempat yang berisi orang-orang yang mengungsi.   
/Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju tak cukup memadamkan bara di tubuhmu/ Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu. /Dan beratus pasang biji mata di giring ke arahmu./ Dalam bait ini digambarkan empati si aku yang bernyanyi untuk Anna ketika orang-orang mengetahui apa yang terjadi dengan Anna.
/Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna. /Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana./ Gaya bahasa perumpamaan yang begitu dominan dalam bait terakhir ini membuat pembaca akan sulit menafsirkan maksud atau fenomena yang terjadi dengan Anna. Satu-satunya yang dipahami adalah Anna mendapatkan sebuah kabar atau berita yang sederhana.
Setelah menganalisis lapis suara dan lapis arti maka yang akan dibahas berikutnya ialah lapis ketiga. Pembahasan ini berisi tentang tokoh, latar, alur, dan objek-objek yang terdapat dalam sajak tersebut. Dalam sajak ini diceritakan seorang tokoh aku yang menyimpan rasa empati kepada sosok berambut kelabu bernama Anna Politskovskaya. Anna mati tertembak peluru makarov di dada dan kepalanya. Setelah itu banyak orang-orang yang bernyanyi untuk Anna termasuk si aku. Satu-satunya latar tempat yang tersurat dalam sajak tersebut adalah Checnya. Di checnya kematian digambarkan menjadi suatu hal yang lumrah. Anna Politskoovskaya dipastikan memiliki hubungan dengan orang-orang yang berada di Checnya. Checnya digambarkan sebagai bangsa yang punah, bangsa yang sering merasakan kesedihan. Pertanyaan yang kemudian muncul di setiap benak pembaca adalah –siapakah Anna Politskovskaya?
Pemaparan mengenai fenomena yang terjadi di dalam puisi tersebut tidak cukup mengungkap maksud puisi secara menyeluruh. Keberadaan tokoh Anna Politskovskaya masih belum jelas asal-usulnya. Apakah ia ada di kehidupan nyata atau hanya sosok imajiner yang diciptakan oleh pengarangnya. Apakah tragedi penembakan yang terjadi pada Anna adalah sebuah alegori atau benar-benar terjadi di dunia nyata.  
Pradopo (2012:19) mengemukakan bahwa analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Rene Wellek (1986:156) menilai bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S ELIOT Via Sansom, 1960:155 dalam Pradopo, 2012:20)
Jika kita simpulkan pendapat-pendapat di atas, analisis yang sudah dipaparkan sebelumnya perlu ditindaklanjuti guna mengetahui makna sajak seutuhnya. Teori semiotika dengan pendekatan mimetik menjadi salah satu pilihan untuk menganalis karya lebih jauh lagi. Menurut Pradopo (2012:294)  untuk konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan heurmeunetik. Pada mulanya sajak dibaca secara heuristik, kemudian dibaca ulang secara heurmeunetik. Pemaparan sebelumnya dengan menggunakan lapis norma pertama hingga lapis norma ketiga dapat disebuat pula dengan pembacaan heuristik. Berikut akan dipaparkan analisis karya melalui pembacaan heurmeunetik. 
Pembacaan Heurmeunetik
Dalam kritik aliran Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial disamakan dengan kehebatan arstrik. Seniman menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan “dokumen karena merupakan monumen” (Wellek dan Werren, 1989:111).
            Berangkat dari pendapat Hegel dan Taine, puisi “Buat Anna Politskovskaya” karya Bode Riswandi dicurigai memiliki nilai sejarah yang perlu diungkap. Hal ini bisa dikuatkan dengan munculnya nama seseorang, perstiwa, dan tempat dalam puisi tersebut. Dalam Wellek dan Werren (1989:122) dijelaskan pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai portet kenyataan sosial.
Hal di atas bisa menjadi pijakan untuk memberikan kemungkinan bahwa puisi Bode merupakan salah satu potret dari realita sosial. Entah Anna adalah sosok imajiner yang diciptakan untuk menggambarkan realita sosial di sekitar pengarang atau Anna adalah sosok nyata yang pernah hidup dan tercatat dalam sebuah sejarah yang pernah ada di masyarakat. Pendekatan mimetik yang ditawarkan Abrams mengungkapkan bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan realita/kenyataan. Maka dari itu untuk mengetahui identitas Anna dalam puisi Bode bisa dilakukan dengan cara mencari data di luar karya.
            Tulisan David Rudra di dunia maya mengenai Anna Politskovskaya memaparkan bahwa Anna adalah seorang wartawan yang lahir di New York pada tahun 1958. Anna merupakan alumni Universitas Negeri di Moskow jurusan Jurnalistik. Karirnya sebagai seorang wartawan dimulai dari koran Izvestiya. Dunia internasional mengenalnya sebagai seorang wartawan paling kritis di Rusia. Setidaknya, dalam perjalanan karirnya sebagai wartawan dan aktivis HAM, Anna Politkovskaya menerima 10 penghargaan dari Amnesty Internasional, Reporter Without Borders, dan Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa. Hal tersebut memberi satu keterangan bahwa Anna dalam puisi Bode bukan hanya sosok imajiner pengarang.
            Melalui diksi dan metafora yang dihadirkan dalam puisi tersebut kita dapat mencari tahu lebih jauh tentang Anna Politskovskaya.
 /Salju yang runtuh dari rambut kelabumu/ Baris tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa Anna Politskovskaya merupakan seseorang yang memliki rambut berwarna abu-abu. Penggambaran tersebut untuk menunjukan bahwa umur Anna sudah tidak lagi muda. Jika melihat data di atas, pada saat pengarang menulis puisi ini tahun 2009, umur Anna diperkirakan 51 tahun. Maka dapat dikatakan pengarang begitu apik menggambarkan Anna yang sudah beruban dengan diksi rambut kelabumu. Diksi salju yang dituliskan di awal kalimat bisa langsung memberikan sebuah penegasan bahwa Anna bukanlah seseorang yang hidup di sekitar pengarang, yaitu Indonesia. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak pernah mengalami musim salju. Setelah mengetahui biodata Anna yang menjalani studi di moskow, maka diksi salju merupakan upaya pengarang untuk memberikan petunjuk kepada pembaca bahwa latar yang dihadirkan adalah tempat yang memiliki musim salju, dalam hal ini Moskow.
/Semacam peluru makarov yang dilempar /Seseorang ke dada dan kepalamu/. Baris ini menceritakan bahwa sesuatu telah terjadi pada Anna Politskovskaya. Menurut beberapa data di internet, Anna ditembak mati di dada dan kepala oleh seseorang misterius pada tahun 2006 di apartemennya. Ini berarti pengarang menulis puisi saat Anna sudah meninggal tiga tahun sebelumnya, pada umur 48 tahun.
/Lantas orang-orang bernyanyi untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata./ Di checnya kematian itu mudah tumbuh. Bagaikan rumput katamu. Berlapis-lapis ketakutan menjalar di dinding dan di kanal./
David Rudra meneruskan tulisannya yang menceritakan hubungan Anna dengan Checnya. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Anna berubah menjadi harimau yang sangat ditakuti. Anna bukan saja menjadi seorang wartawan yang kritis, tapi juga sebagai analis yang mencatat perang kotor antara Rusia dan Grilyawan Chechnya. Dalam sebuah catatan, Anna Politkovskaya bahkan sempat mendokumentasikan perlakuan kejam militer Rusia dan pasukan yang loyal kepada Kadyrov terhadap penduduk checnya.
Dia menulis tentang pembunuhan massal, penculikan, hingga serdadu Rusia yang menjual tulang belulang gerilyawan Chechnya kepada keluarganya untuk dimakamkan secara Islam. Tulisan-tulisan itulah yang mengantarkannya sebagai kritikus perang tervokal. Akibatnya, ancaman demi ancaman datang menghampiri Anna.
Jelas sudah maksud dari baris di atas yang menyebut Checnya sebagai tempat yang tidak asing dengan peristiwa kematian. Menurut data Checnya merupakan wilayah yang ingin membentuk negaranya sendiri layaknya timor-timur di Indonesia saat itu, namun sayangnya tidak ada satupun negara yang mau mengakuinya. Rusia merupakan satu-satunya negara yang paling gencar melakukan perlawanan terhadap keinginan Checnya. Anna Politskovskaya kemudian melakukan liputan investigasi di Checnya dan membuat sebuah buku yang menggambarkan berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Checnya. Keberanian Anna menguak kekejaman Rusia akhirnya mengantarkan Anna pada kematiannya yang sudah dibahas pada baris kedua puisi Bode.
/Lantas orang-orang bernyanyi untukmu, tentang nasib serta takdir mereka yang bermukim di lobang senjata./ Dari pemaparan di atas, maka baris pada puisi Bode yang menyatakan bahwa orang-orang bernyanyi untuk Anna dimaksudkan untuk mengkiaskan orang-orang yang peduli terhadap peristiwa yang menimpa Anna. Banyak protes dan tulisan dari masyarakat yang menuntut keadilan untuk Anna dan Checnya.
/Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari lentikmu berdarah mencium aroma bangsa yang punah/. Diksi jari lentikmu berdarah kemungkinan besar ditujukan kepada Anna yang berprofesi sebagai wartawan. Dimana wartawan identik dengan sebuah tulisan dan tulisan dapat dihubungkan dengan sebuah jari. Begitulah Bode yang memilih perumpamaan untuk menggambarkan kisah Anna dengan sangat cerdik.
/Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna./Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana./. Baris ini dapat dikatakan masuk ke dalam wilayah subjektif pengarang, di mana pada baris ini pengarang menggunakan sebuah majas personifikasi yang akan memunculkan banyak penafsiran yang tidak bisa ditentukan maksudnya dengan mutlak. Jika berpijak pada data-data yang ada, maksud dari tiga perumpamaan diatas adalah untuk menggambarkan Anna yang berani keluar dari zona nyamannya sebagai warga Rusia. Ia berani mengambil resiko untuk menegakan hak azasi manusia dengan cara menjadi seorang jurnalis yang hanya mengharapkan sebuah rahasia dan kabar di sebuah wilayah. 
C.    SIMPULAN
Analisis dengan menggunakan teori struktural semiotik dan pendekatan mimetik di atas menunjukkan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari sebuah realita sosial. Puisi karya Bode Riswandi tersebut bukan hanya sekedar alegori atau cerita kiasan yang diciptakan pengarang melainkan fenomomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, D.R. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Wellek, R dan Werren, A. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Faruk, 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Faruk, 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar