Senin, 07 Desember 2015

Membakar Penyamun

MEMBAKAR PENYAMUN*
Cerpen Resna J Nurkirana**
Sepasang matanya tengah disaput kekosongan. Sekarang Bapak nampak asing dan menyedihkan.
Semenjak peristiwa itu sering diberitakan, aku terus mencari kebenaran. Mencari jawaban atas kesedihan yang Bapak rahasiakan. Barangkali, kesedihan Bapak datang dari tuduhan orang-orang. Katanya Bapaklah yang menyebabkan kematian seorang begal.

Sekarang Bapak jadi lebih sering murung dan memilih mengurung dirinya di kamar. Kesedihan Bapak atas kepergian Ibu belum selesai, tapi  peristiwa ini, jelas telah membuat Bapak semakin terguncang.  Begitu hebat upaya Bapak mempersiapkan diri menghadapi kematian Ibu, sementara untuk tuduhan-tuduhan ini, ia sama sekali tak pernah menduga dan tak mempersiapkan apa-apa. Maka Bapak seolah ditimpa kesedihan yang lebih mengerikan. Bapak jadi sulit kuajak bicara. Ia semakin sering bersembunyi dan menatap jauh ke langit-langit

Luka yang Bapak sembunyikan dalam kantung matanya, aku yakin hanya kekecewaannya pada keadaan. Aku mencoba bersikap wajar, tapi pembicaraan orang-orang tentang Bapak tak juga berakhir. Maka sembunyi-sembunyi, aku mengikuti kemana pun desas-desus itu berembus. Mencari setiap cerita tentang seorang begal yang mati, juga seseorang yang telah membakarnya. 
Aku mencari keterangan dari cahaya yang masuk lewat atap rumah, mencari kebenaran dari angin yang membisik melalui celah jendela, dari suara-suara yang selalu membawaku kembali menghadapi kesedihan bapak, juga dari kabut, yang akhir-akhir ini sering menyelimuti kampungku ketika malam semakin larut.

Sejak kesedihan Bapak, sore hari hujan selalu turun dan tak membiarkan anak-anak bermain petak umpet atau pun egrang. Suara tawa dan tangis mereka jadi jarang terdengar, begitu pula suara gaduh para peronda. Kampungku mendadak senyap. Tapi sepertinya orang-orang masih terus saling berbisik dan menuduh. Bukan di sini. Melainkan di ruang lain, jauh di dalam kepala mereka. Di sebuah ruang kedap suara.

Kesunyian di kampung ini justru menjelma jadi suara-suara paling bergemuruh dalam kepalaku. Begal itu ditangkap. Diarak orang banyak. Sambil diseret, orang-orang terus memukulinya.
Mereka memotong jari tangan begal itu agar dengan begitu, ia tak bisa lagi memasukan apa-apa yang ada di dunia ini ke dalam mulutnya. Begal itu berteriak-teriak memohon ampun, tapi amarah orang-orang tak juga mereda.

Penyiksaan itu tak juga berhenti. Orang-orang merentangkan tangan begal itu dan hendak memotongnya. Tapi Bapak tiba-tiba masuk ke dalam kerumunan. Bapak menyiramkan bensin lalu melemparkan korek api yang karenanya tubuh begal itu terbakar, hangus dan mengenaskan.
Begitulah gemuruh itu menyampaikan cerita yang sesungguhnya padaku.
Hari ini aku mendengar mayat begal itu akan dipulangkan dari rumah sakit ke rumah duka. Maka aku tak berpikir lama. Aku bergegas untuk melihatnya. Tiba di sana, orang-orang telah berkerumun dan berdesakan. Barangkali mereka ingin mendapat posisi paling baik untuk melihat mayat seorang begal yang dibakar.

Aku mendesak masuk. Tiba di dalam rumah, aku dikagetkan dengan anak kecil yang tengah menjerit-jerit memanggil bapaknya. Ketika aku duduk dan menundukkan wajahku untuk berdoa, anak itu menangis lebih keras, meronta meminta pada orang-orang agar bisa membangunkan bapaknya. Aku menahan sesak luar biasa. Anak itu tiba-tiba membuka kain yang menutupi wajah bapaknya. Sebuah wajah yang kemudian membuat orang-orang mengernyit dan memalingkan muka. 

Dari orang-orang yang saling membisik, aku mendengar anak itu telah lama ditinggal mati oleh ibunya. Aku tak bisa bayangkan jika anak ini harus tetap menjalani kehidupan dengan sebagian miliknya yang telah hilang, bahkan hampir seluruhnya. Jeritan anak itu tak urung reda. Malah kini betul-betul membuat aku terpukul. Aku sekarang mengerti ketakutan macam apa yang telah Bapak sembunyikan di balik kantung matanya. Di sini, Bapak nyatanya telah menciptakan sebuah kehidupan yang begitu mengerikan, kesedihan seorang anak penyamun, yang hanya dengan kematian ia akan hilang.

Aku langsung berpikir untuk melakukan apa yang Bapak lakukan. Akan kutumpahkan bensin pada sekujur tubuh anak itu. Disusul dengan korek api yang akan menyulut habis rasa sakitnya. Nanti, aku hanya akan melihat kesedihan anak itu semakin lama semakin menguap.
Bapak pasti lega mendengar apa yang akan aku lakukan. Lalu setelahnya, aku akan memiliki mata serupa Bapak; disaput kekosongan, asing dan menyedihkan.

Februari 2015

*Begal Orang yang menyamun, Merampok, merampas


.


















dimuat di harian Pikiran Rakyat 22 November 2015

Sabtu, 30 Mei 2015

Bu, ajarkan aku melipat kenangan



  

Meski dimuat...

Wan,

dimuatnya wisata bahasa dalam pikiran rakyat sama sekali bukan sebuah penemuan jati diri.
hanya sedikit keanehan, serupa judul tulisannya yang memang diganti oleh editor koran.

wan, semester enam fase paling menyenangkan. di mana aku telah memilih jurnalistik sebagai konsentrasi perkuliahan. di dalamnya, seorang dosen mengajarkan kami beribu cara agar tulisan kami bisa dimuat di koran. kami juga diminta untuk mengirimkan satu opini setiap minggunya. dan nilai kami bisa a hanya jika tulisan kami ada yang lolos kurasi redaktur koran. dari itu, aku terpaksa menulis beberapa opini dan banyak wisata bahasa. hanya untuk dimuat.

saat akhir april, aku mencoba menulis hal yang paling aktual. maka aku menulis hardiknas. aku tak tahu harus menulis apa, sampai akhirnya aku teringat mata kuliah problematik yang diampu oleh pak mahmud. beliau sempat memahas materi terkait problematik dalam abreviasi. dan akronim hardiknas termasuk di dalamnya. mulailah aku menulis dan membuka lagi buku kuliah semester lima. aku kirim ke koran, dan pada saat hardiknas aku tak menemukan tulisanku di sana. putuslah asaku wan. hardiknas ini momentum dan tidak mungkin dimuat di hari lain.

akhirnya aku kembali menulis opini berjdul hedging jokowi, menulis wisata bahasa lagi berjudul "acan dan teu acan" lalu kembali berharap semoga sebelum uas salah satu tulisanku ada yang dimuat. lalu Allah begitu baik padaku, hari minggu pagi 24 mei 2015,saat kepalaku dipenuhi dengan bisnis kerudung, seseorang tiba-tiba mengirimkan foto koran, tepat pada kolom wisata bahasa yang di sana tertulis namaku wan. bahagialah aku. karena esoknya adalah batas akhir pengumpulan opini dan dosen akan mempertimbangkan nilai kami. maka dengan rasa syukur yang begitu besar, aku pun sedikit merasa lega untuk mata kuliah bernama "opini dan editorial" ini.

lalu aku tertegun ketika kamu berkomentar bahwa aku telah menemukan jalanku. tidak wan. aku tetap berharap ada cerpenku yang dimuat. maka wan, doakan aku. plis.

dan terima kasih atas foto-foto ini. karena kebahagiaan adalah mengenal kalian semua. semoga Allah membalas kebaikan dengan kebahagiaan yang berkali-kali lipat.







Senin, 27 April 2015

Warna Ibu

Bu, kenangan denganmu tak akan berubah warna. Tentang siang dengan langit mendung sepanjang perjalanan. Tentang kaki kita yang jauh menyusuri trotoar. Tentang tanganmu yang begitu sulit mengambil potretku. Tentang bajumu yang tak sengaja kutumpahi makanan. Tentang pancake yang kaubelikan untukku. Aku mencintai kenangan kita yang tak akan berubah warna, Bu. Aku mencintaimu. 




art emotikon

Jumat, 24 April 2015

LIST ESAI ASAS

Ini esai Reboan yang berhasil saya arsipkan selama bergiat di ASAS. Bagi teman-teman yang tertarik membaca salah satu atau beberapa esainya, mangga hubungi saya. Nanti saya buat salinannya. smile emotikon
1. Alusi dalam puisi-puisi Cecep Syamsul Hari (Fajar M Fitrah)
2. Ketimpangan gender dalam novel "Entrok" (Dedi Sahara)
3. Dalam lipatan kain, tubuh menjadi representasi simbolik manusia (Zulfa Nasrulloh)
4. Bali, tempat melihat Putu Telanjang (Resna J Nurkirana)
5. Membaca Sesuatu "Dalam Lipatan Kain" (R Abdul Azis)
6. Memahami cerpen, lukisan, dan buku pelajaran (Resna J Nurkirana)
7. Sedikit pengantar menyoal apresiasi sastra (Fuad Jouharudin)
8. Serangkum Sejarah Singkat (R Abdul Azis)
9. Esai dan hal-hal yang tak selesai (Dedi Sahara)
10. Menerawang kumpulan puisi Lambung Padi Karya Heri Maja Kelana (Wishu Muhamad)
11.Puisi, Pengalaman, dan Gumam (Ahda Imran)
12. Rolling Stones, sebuah pembacaan sajak-sajak penyair ASBE 2013 (Willy E. Cahyadi dan Tono Viono)
13. Esai Pengantar Seputar Esai (Roby Aji)
14. Sastra; dari syair Bimbo hingga Epik Luo Guanzhong (Tono Viono)
15. Perkembangan kelmpok teater kontemporer Indonesia (Yopi Setia Umbara)
16.Memandang Ilmu dan Secuil Persoalan Bahasa Indonesia (Sany R Apriad)
17. Al-barzanji: Puji-pujian Menuju Tuhan (Mustafa Reza Raihan Sind)
18. Di tubuh erotis, membaca Bugis: Puisi-puisi Aslan Abidin "Bahaya Laten Malam Pengantin" (Willy Fahmy Agiska)
19. Menyembunyikan Hasrat ala Kakek Charlie (Muhammad Maruf)
20. Membaca puisi-puisi asal Sumatra Barat: Sebuah Wacana Lokalitas (Fajar M Fitrah)
21. Mengulik Bentuk Puisi Aan Mansyur "Mengalimatkan dan Mengalamatkan" (R. Abdul Azis)
22. Tanda-Tanda Bimbang Bahasa (Faisal Syahreza)
23. Berawal dari Kata, Budi Darma Jungkir Balik lagi (Zulfa Nasrullah)
24. 4 puisi 4 penyair ASAS (R. Abdul Azis)
25. Absurditas Camus: Interpretasi pada "Orang Asing" (Dedi Sahara)
26. Mekanisme pertahanan dan emosi dalam cerpen "penembak misterius" dan "sarman" karya Seno Gumira Ajidarma (Muhammad Ma'ruf)
28. Memikirkan Perasaan: Sebuah proses dan apresiasi (R. Abdul Azis)
29. The other side dari novel Pulang dan Tragedi (Muhammad Maruf)
30. Polemik Sastra Sufistik, Profetik, dan Relijius (Resna J Nurkirana)
31. Menyingkap Puisi: Menarikan bahasa, membebaskan imajinasi (Faisal Syahreza)
32. Estetika Skizofernia: Kemungkinan dan Ketidakmungkinan Membaca "Museum Penghancur Dokumen" (Dedi Sahara)
33. Kesepakatan Mengalmarhumkan Hendrawan (M Adhimas Prasetyo)
Bagi para penulis esai reboan yang namanya ada di sini atau tidak, sila mengirimkan softfilenya ke email saya y. Nanti Insyaallah akan diposting di blog atau di group ASAS. Resnaje@gmail.com

puisi pasir























di pesisir sawarna,
orang-orang memintaku menulis hal paling dekat dan sederhana,
pasir misalnya.
tapi aku menulis masa lalu dan dirimu.

april 2015

Rabu, 25 Maret 2015

Menyimak Hujan

Kautakkan pernah mampu menyimak hujan.
Kau hanya mendengar suaranya secara pasif dan spontan. 
Suatu ketika, aku pernah menerima informasi dari suara derasnya di luar kamar. 
Itu karena aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sengaja, dan penuh kehati-hatian.
Ia bercerita banyak hal. 
Termasuk tentangmu.
Saat itu, aku segera memekakan pendengaranku 
aku menerima getaran akustik yang diubah ke dalam sinyal-sinyal yang dapat dimengerti oleh pikiranku.
Suara tetesan itu kemudian menjelma, menyandi kata-kata yang meyebut namamu.
Ah, kukatakan sekali lagi, kautakkan mampu menyimak hujan.

Senin, 02 Maret 2015

Sepasang Mata Kemarin

Kau hidup di kehidupan yang jauh berbeda dengan Ibu. Sekarang ini, kau bisa datang ke hari kemarin, kemarinnya lagi, atau dua atau tiga tahun kemarin. Lalu jika kau betah, kau memang tak usah kembali ke hari ini. Kau bisa hidup di sana dan berbicara dengan kata-kata. Bahkan, kau bisa habiskan harimu dengan bersemayam pada sepasang mata yang begitu kau cintai.

Sabtu, 14 Februari 2015

Bukan Cinta yang Memilihmu

(Untukmu yang tengah merindukan cintanya dan cinta-Nya)















Allah SWT berfirman pada hari kiamat, “Mana orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku. Hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Jika selama ini kausulit terjemahkan cinta, maka aku mencoba mencari pengertiannya dari sudut pandang Islam. Ibn al Qayyim (1) mengatakan bahwa kata cinta dalam Al Qur’an disebut hubb (mahabbah) dan wudda (mawaddah), keduanya memiliki arti yang serupa yaitu menyukai, mengasihi, atau menyayangi.

Cinta juga berarti ittiba wa tha’ah, ikut dan taat. Artinya, hanya dengan cinta kita bisa mengikuti atau menaati suatu hal tanpa paksaan. Lalu sebagai muslim, jelas kiranya bahwa dalam kehidupan ini Allah adalah pelabuhan dan sumber cinta itu sendiri. Allah SWT ialah satu-satunya Zat yang mencintai kita dengan sempurna.

Sesungguhnya dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan bahwasannya manusia akan cenderung mencintai apa-apa yang telah Allah ciptakan. Namun, dalam Al-Qur’an pula Allah mengingatkan umatnya agar tidak jatuh terlalu jauh mencintai dunia.  

Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah  sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)  

Hadits yang dikutip di awal tulisan ini menyatakan bahwa Allah membolehkan kita mencintai sesuatu yang bersifat duniawi, tetapi tetaplah harus didasarkan karena kecintaan kita kepada Allah SWT.

Dapat kita ambil kesimpulan, dalam islam, cinta tidak selalu identik dengan lawan jenis. Jika cinta yang kaumaksud adalah cinta kepada lawan jenis, itu adalah Gharizah An-Nau (Naluri seksual). Gharizah An-Nau dalam Islam sangatlah penting. Dengan naluri inilah manusia bisa melestarikan dirinya. Dengan naluri inilah bisa lahir para mujahid baru untuk menegakkan islam di muka bumi.

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an berkali-kali. Ia memerintahkan kita untuk mencitai suatu hal karena Allah. Maka termasuk kepada lawan jenis, kita diperintahkan untuk memilihnya hanya semata-mata karena cinta kita kepada Allah. Lalu bagaimana menyikapi Gharizah An-Nau atau naluri seksual agar tidak menjerumuskan kita pada hal yang tidak dicintai Allah?

Allah menciptakan suatu hukum yang tidak mungkin tidak bisa kita taati. Dalam Al-Qur’an, ada banyak solusi untuk menyikapi Gharizah An-Nau ini. Interaksi laki-laki dan perempuan telah diatur dalam islam. Ada tujuh rambu yang mesti kita patuhi dalam hal ini.
  1. Ghadul Bashar (Menundukan Pandangan)
  2. Menutup aurat
  3. Menjauhi khalwat (Berdua-duaan dengan yang bukan makhrom)
  4. Meminta ijin suami saat keluar rumah
  5. Menghindari safar (bepergian) 24 jam tanpa makhrom
  6. Membentuk jamaah yang terpisah antara perempuan dengan laki-laki
  7. Mengusahakan hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim hanya sebatas hubungan umum bukan hubungan khusus.
Dengan tujuh rambu di atas, maka InsyaAllah manusia bisa mengendalikan gharizah an-naunya.

Setiap orang tentu pernah atau akan merasakan cinta kepada lawan jenis. Allah tak pernah melarangnya, karena Allah sendirilah yang mengatur hati kita. Tapi sudahkah kita mencintai seseorang karena Allah? inilah yang sulit. Saling mencintai karena Allah memang tak asing di telinga namun begitu sulit diaplikasikan. Bagaimanapun, mencintai karena Allah merupakan tahap manusia mencapai sebaik-baiknya iman. Hal ini tertera dalam hadits berikut.

Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atau memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." (HR. Imam Abu Daud)

Cinta kita kepada Allah adalah bukti iman kita kepada-Nya. Maka tidak akan bisa kita beriman jika kita tidak mencintai Allah. Serti tidak akan pula kita disebut mencintai Allah jika kita tidak mencintai apa-apa yang Allah cintai. Beruntunglah mereka yang telah mencintai Allah dan Rasullullah dengan sebaik-baiknya cinta. Lalu bagaimana dengan kita yang masih disibukkan dengan urusan cinta terhadap sesama manusia, terhadap lawan jenis khususnya.

Kesungguhan mencintai karena Allah bisa dilihat dari bagaimana kita menyikapi perasaan yang Allah anugerahkan, bisa dilihat dari bagaimana kita menyikapi sebuah kedatangan atau kepergian seseorang, serta menyikapi rasa kehilangan atau peristiwa perpisahan. Terkadang, kita sering kali tidak ridha jika Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan cara mengambil kembali sesuatu yang kita cintai. Padahal bisa jadi hal itu merupakan cara Allah mengingatkan kita bahwasannya hanya Allah lah yang patut kita cintai.

Tentang kehilangan. Kaupasti pernah merasakannya. Barangkali itu adalah cara Allah mencintaimu dan membuatmu mencintai-Nya. Bagaimana pun Allah mengetahui sedang kita tidak mengetahui. Karena itu, umat muslim tak pernah punya alasan untuk merasa putus asa. Meski kehilangan adalah nyeri yang sulit diobati, tapi dapat dipastikan Allah telah menyiapkan kejutan lain yang tidak pernah kita sangka.

Mencintai karena Allah. Mengaplikasikan cinta jenis ini dalam kehidupan bukanlah perkara mudah. Kauakan banyak temui sepasang manusia yang saling mengutarakan cinta karena Allah tapi diantara mereka belum ada ikatan yang halal. Bagaimana mungkin keduanya saling mencintai karena Allah tetapi sesuatu yang telah Allah tetapkan tak mereka hiraukan. Bukankah cinta adalah ittiba wa tha'ah. Salah satu hukum Allah yang sering kali kita langgar tanpa disadari ialah persoalan menundukkan pandangan dan menjaga hati.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-nur: 30)

Jadi, jangankan menjalin sebuah hubungan sebelum menikah, saling memandang dengan yang bukan makhrom saja Allah sudah melarang. Untuk menghindari hal tersebut, kita mesti banyak memohon pertolongan Allah agar kita bisa menjaga mata dan hati kita.

“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al-Mazni.

Begitulah Rasulullah memberi jalan keluar. Ia memerintahkan kita untuk menyatukan cinta dalam ikatan pernikahan. Tapi jika diantara dua insan belum memiliki kesiapan menikah, dan cinta telah terlanjur bersemi, maka aku mengutip apa yang dikatakan Tere Liye.

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.” (Sunset Bersama Rosie-Tere Liye)

Ketika cinta sudah terlanjur memenuhi ruang hati kita, maka ikhlaskanlah cinta dan rindu tersebut pada Allah. Biar Allah yang menentukan kelanjutan perasaan kita. Biar Allah yang menyatukan kita dengan orang yang kita cintai pada sebaik-baiknya waktu dan pertemuan. Selama penantian menunggu jawaban Allah, kita bisa belajar untuk meluruskan niat menikah, memperbaiki diri, serta mencari ilmu sebanyak-banyaknya tentang jodoh dan pernikahan. Serahkanlah, Allah telah menyiapkan untuk kita pasangan yang telah ditulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Wallahualam Bishawab. Semoga kita termasuk ke dalam manusia yang mencintai seseorang karena Allah. Aamiin.

Lalu bagaimana jika Allah menyuguhkan padamu sebuah pilihan yang membingungkan?

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon petunjuk-Mu yang baik dengan pengetahuan-Mu, dan aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu, dan aku memohon kemurahan-Mu yang luas, karena sesungguhnya Engkau maha kuasa dan aku tidak memiliki kekuasaan itu, begitu pula Kau mengetahui yang ghaib-ghaib. 

Dan bila Engkau tahu sesungguhnya hal ini baik bagiku untuk agamaku, kehidupanku, dan masa depanku, maka pastikan dia padaku dan mudahkanlah dia padaku, kemudian berikan rahmat padanya. Dan Engkau mengetahui bahwasannya kejahatan bagiku, untuk agamaku, hidupku, dan hari kemudianku, maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan berilah kebaikan padaku, di mana saja aku berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridho dengan pemberian itu." 

Sesungguhnya, urusan manusia telah ada dalam kuasa-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang baik bagi hamba-Nya. Betapa kita sesungguhnya lemah dan tidak mengetahui apa-apa. Pada akhirnya, do'a istikharah mengingatkan kita untuk bisa menyerahkan semua pilihan yang ditawarkan dunia hanya kepada-Nya. Semoga kita menjadi orang yang selalu ridha dengan pilihan-Nya. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat untuk diri sendiri agar aku dapat terus berusaha mencintai seseorang hanya karena Allah SWT. Aamiin Ya Rabbalalamin.

Terakhir, aku mengutip sebuah lirik lagu. Semoga kita bisa mengaplikasikan apa yang ada dalam lirik berikut.
“Bukan cinta yang memilihmu, tapi Allah yang memilihmu untuk kucintai.” – Kang Abay


(1) al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, 



Resna J Nurkirana-
Februari 2015

Sabtu, 07 Februari 2015

Selepas Hujan Februari

Ialah kabut, titik-titik air yang dengan matamu yang lain, kaubisa lihat ia berwarna ungu. Ia serupa selimut yang sesekali luruh menjadi butiran lembut, dingin dan membelai ingatan tentang kekasihmu. Lalu biasanya, ia utuh kembali, membawamu pada dingin paling asing, mengingatkan orang-orang yang telah jauh meninggalkanmu.

2015

Kamis, 22 Januari 2015

Mamah



Mamahku sayang sama aku 
Mamah selalu menemankan aku
Mamahku baik ke aku
Aku dijaga sama mamah
Mamahku baik dan cantik
Dan pake kerudung
Aku sayang mamah

heart emotikon Vindy


Kamis, 15 Januari 2015

Wudhu, Jalan Menuju Surga

Saya mengutip tulisan di bawah ini dari http://www.smstauhiid.com/tata-cara-wudhu-sesuai-tuntunan-nabi/ semoga manfaat.

A. Keutamaan Wudlu
1. Allah ta’ala mencintai orang-orang yang bersih, sebagaimana firman Allah :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Seungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersih (Al-Baqoroh :222)
2. Sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat wudlu yang nampak pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ
“Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
3. Wudlu dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ  الْوُضُوْءَ, خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ, حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارِهِ
“Barang siapa yang berwudlu lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya”. (Hadits riwayat Muslim no 245)

4. Wudlu bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلآ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُوْ اللهُ بِهِ الْخَطَايَا, وَيَرْفَغُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوْءَ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةَ بَعْدَ الصَّلاَةِ…
“Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat-derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rosulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah wudlu pada saat keadaan-keadaan yang dibenci (misalnya pada waktu musim dingin-pent) dan perbanyaklah langkah menuju masjid-masjid dan setelah sholat tunggulah sholat berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim no 251)
5.      Dengan wudlu seseorang bisa masuk surga dari pintu-pintu surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ  kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)

B. Hikmah Disyari’atkannya Wudlu
Inti dan ruh dari sholat adalah seorang hamba harus sadar bahwa dia sedang berada di hadapan Allah ta’ala. Agar pikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudlu sebelum sholat karena wudlu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan pikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
Karena seseorang yang pikirannya sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika kita katakan padanya “sholatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat untuk melaksanakannya. Disinilah (nampak jelas) hikmah wudlu karena membantu seseorang meninggalkan pikirannya yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi, serta wudlu memberikan waktu yang cukup untuk memulai pikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu sholat). (Taudlihul ahkam 1/155)
C. Definisi Wudlu
Secara bahasa wudlu diambil dari kata الْوَضَائَةُ yang maknanya adalah النَّظَافَةُ (kebersihan) dan الْحُسْنُ (baik) (Syarhul Mumti’ 1/148)
Sedangkan secara syar’i (terminologi) adalah “Menggunakan air yang thohur (suci dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari’at” (Al-fiqh al-Islami 1/208)
D. Sifat Wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ta’ala berfirman :
يأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إذَا قُمْتْمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الِكَعْبَيْنِ

Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berdiri untuk (mendirikan) sholat maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki. (Al-Maidah : 6)
Hadits Rosulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ سَأَلَ عَبْدَ اللهِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ وُضُوْءِ النَّبِيِّ  ، فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوْءَ النَّبِيِّ  . فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَمَضْمَضَ و اسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بثَلاَثِ غُرْفَاتٍ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَمَسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ.
وَ فِيْ رِوَايَةٍ : بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذهَبَ بِهِمَا إِلَي قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.
Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknya berkata : “Aku telah menyaksikan ‘Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudlunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abdullah bin Zaid  meminta tempayan kecil yang berisikaan air lalu dia berwdlu sebagaimana wudlunya Nabi. Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya-pent) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung-pent) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke tempat dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1.Berniat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid’ah. Dan niat adalah syarat wudlu (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang siapa yang berwudlu dengan niat bukan untuk bertaqorrub kepada Allah  ta’ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka wudlunya tidak sah, karena Rosululah r bersabda “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya”. Namun Menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk juga ketika akan wudlu) adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berwudlu tanpa niat bertaqorrub pun sudah sah wudlunya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh al-islami 1/225)
2.Membaca “Bismilah”
Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Huroiroh:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudlu dan tidak ada wudlu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya”. (Hadits Hasan, berkata Syaikh Al-Albani : “…Hadits ini memiliki syawahid yang banyak…”, lihat irwaul golil no 81)
Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa membaca “bismillah” adalah syarat sah wudlu. Namun yang benar bahwa yang dinafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan wudlu.
Terjadi khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan “bismilah” ketika akan berwudlu Mereka berdalil dengan hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca “bismillah” ketika akan berwudlu hukumnya hanyalah mustahab, tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193). Dalil mereka :
– Perkataan Imam Ahmad sendiri : “Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini”
– Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan “bismillah” (syarhul mumti’ 1/130)
Syaikh Al-Albani berkata : “…Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhohir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan inilah (pendapat) yang benar Insya Allah” (Tamamul Minnah hal 89)
Dan ada juga hadits yang lain yaitu :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَاب النَّبِيِّ وُضُوْءً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيْ الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ : تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِ اللهِ, فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ . قَالَ ثَابِتٌ : قُلْتُ لأَنَسٍ : كَمْ تَرأهُمْ ؟ قَالَ : نَحْوٌ مِنْ سَبْعِيْنَ
Dari Anas berkata : Sebagian sahabat Nabi  mencari air, maka Rosulullah berkata : “Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata :“Berwudlulah (dengan membaca) bismillah”.. Maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hingga para sahabat seluruhnya berwudlu hingga yang paling akhir daari mereka. Berkata Tsabit :”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat ?, Beliau berkata : Sekitar tujuh puluh orang”. (Hadits riwayat Bukhori no 69 dan Muslim no 2279).
Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillah karena Rosulullah menggunakan fiil amr (kata kerja perintah).
Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berwudlu dan dia baru ingat di tengah dia berwudlu atau bagaimana jika dia baru ingat setelah berwudlu. Jawabnya :
Jika dia ingat di tengah berwudlu, maka dia tidak perlu mengulangi wudlunya tapi terus melanjutkan wudlunya karena membaca “bismillah” bukan merupakan syarat wudlu. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berwudlu maka wudlunya sah, karena Allah tidak membebani apa yang tidak disanggupi oleh umatnya.
3.Mencuci tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan
Berkata Syaikh Ali Bassam : “Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudlu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma’. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur’an). Dan sekedar perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidaklah menunjukan akan wajib, hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qoidah usuliah”. (Taudihul Ahkam 1/161).
4.Berkumur-kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq
Khilaf diantara para Ulama :
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر من سنن المرسلين (sepuluh dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah “toriqoh” bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka :
– Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
– Allah ta’ala berfirman  (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta’ala.
– Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
“Barangsiapa yang berwudlu hendaklah dia beristinsyaq”
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin Sobroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau berwudlu maka berkumur-kumurlah” (Taudihul ahkam 1/173)
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)
5.Mencuci wajah
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar’i tidak dijelaskan oleh Syari’at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عُثْمَانَ t قّالَ : إِنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِيْ الْوُضُوْءِ

Dari Utsman berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jenggotnya ketika berwudlu. (Hadits shohih, riwayat Tirmidzi)

Dan juga hadits Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِيْ رَبِّي عَزَّ وَ جَلَّ

Bahwasanya Nabi jika berwudlu beliau mengambil segenggam air (dengan tangannya-pent) lalu beliau memasukkannya di bawah mulutnya kemudian beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata :”Demikianlah Robku عَزَّ وَ جَلَّ memerintah aku”. (Irwaul golil no 92)
Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
– Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot.
– Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan perpanjangan wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti’ 1/140 )
6.Mencuci kedua tangan
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta’ala berfirman :
وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku
Sebab إِلَى menurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik untuk waktu maupun tempat. Misalnya untuk waktu ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الليْلِ (Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam) dan untuk tempat misalnya مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى (Dari masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun yang datang setelah إِلَى maka boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى (sehingga ketika itu إِلَى bermakna مَعَ sebagaimana firman Allah ta’ala وَلاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَلِكُمْ  ) dan bisa juga tidak masuk kepada apa yang sebelum إِلَى , dan ini semua diketahui dengan qorinah (indikasi) (Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ
Dari Jabir berkata :”Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudlu, beliau memutar air ke kedua sikunya” (Diriwayatkan oleh Darqutni dengan sanad yang dho’if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam 1/191)
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : “Demikianlah aku melihat Rosulullah berwudlu” (Hadits shohih riwayat Muslim, Irwaul Golil no 94)
Apakah disunnahkan mencuci tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Huroiroh  ?
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudlu hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini disunnahkan. Imam Nawawi berkata : “Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki” Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : سَمِعْت رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ : إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ

Dari Abu Huroiroh t berkata : Aku mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu, maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya dan tahjilnya maka lakukanlah” (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudlu melewati tempat yang diwajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Adurrohman As-Sa’di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182) :
– Seluruh sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki
– Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudlu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun perkataan :”Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..”, ini bukanlah perkataan Rosululah r tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan) dari Abu Huroiroh t. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu’aim Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : “Aku tidak tahu perkataan (“Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya hendaklah dia melakukannya”) merupakan perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh”. Berkata Ibnul Qoyyim :”Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak Hafiz”. Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim, beliau berkata : “Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan dia sedang berwudlu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya :”Wahai Abu Huroiroh, wudlu apa ini?”, maka beliau berkata :”Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berwudlu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya wudlu”. Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudlu yang dilakukan oleh Abu Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t saja.
– Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ
(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) wudlunya. (Riwayat Muslim)
Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
7. Membasahi kedua tangan lalu membasuh kepala dan kedua telinga.
Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak.(Syarhul Mumti’ 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shohih dari Utsman t bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya tiga kali. (Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat Tamamul Minnah hal 91).
Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi’i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwudlu. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna “sebagian”.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : “Tidak dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala” Berkata Ibnul Qoyyim ;”Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala” (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ t أَنَّ النَّبِيَّ r تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ
Dari Mugiroh bin Syu’bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu’ lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya. (Riwayat Muslim)

Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :

– Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap sorbannya dan pernah hanya mengusap kepalanya dimulai dari ubun-bunnya. (Taudihul Ahkam 1/187)
– Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. (Dan semua kemungkinan ini dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Ar-roudlotun Nadiah)
Sedangkan makna ب untuk makna tab’id (sebagian) tidak ada dalam bahasa Arab sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin (Syarhul mumti’ 1/151)
Mengusap kedua telinga
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فِيْ صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ : ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ
Dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudlu, berkata : “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul Ahkam 1/166)
Dan juga hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرَُمَا وَ بَاطِنَهُمَا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan kedua telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam” (Hadits shohih, dishohihkan oleh Tirmidzi, Irwaul Golil no 90)
Dan ketika mengusapnya tidak perlu air yang baru. Berkata Ibnul Qoyyim :”Tidak ada riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya”. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air yang baru bukan dari air bekas mengusap kepalanya adalah dlo’if. Yang shohih yaitu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
·      Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ), dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, ‘urf, mapun syar’i), sebagaimana hadits : الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini lemah).
·      Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh telinga.
8. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri.
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta’ala  وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama’ah. Berbeda halnya dengan Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu :
– Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
– Ka’ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka’ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka’ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti’ 1/153)
Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
– Qiro’ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro’ah ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ merupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus Sunnah 1/430)
– Kalaupun qiro’ah  yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti’ 1/176)
– Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ  فِيْ سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :” وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ”
Dari Abdullah bin Amr berkata : “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami-pent) beliau mendapati kami – (dan ketika itu) telah datang waktu sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudlu, maka kami mengusap kaki-kaki kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras :”Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudlu) dengan api”  (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.
– Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu Huroiroh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ  يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : “Demikianlah aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu” (Hadits shohih riwayat Muuslim, irwaul golil no 94)
Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
عَنْ لَقِيْط بْن صَبْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari Laqith bin Sobroh berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sempurnahkanlah wudlu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa” (Hadits shohih, dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma’ad :”…Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata : “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya” Kalau riwayat ini benar  [1]¨) maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.” (Syarhul Mumti’ 1/143).

9.Membaca doa setelah wudlu
Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
أللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersih.
Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudlu :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)
Demikianlan sekilas tentang sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
…. bersambung

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam shohihul jami’ no 4576