Sabtu, 14 Februari 2015

Bukan Cinta yang Memilihmu

(Untukmu yang tengah merindukan cintanya dan cinta-Nya)















Allah SWT berfirman pada hari kiamat, “Mana orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku. Hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Jika selama ini kausulit terjemahkan cinta, maka aku mencoba mencari pengertiannya dari sudut pandang Islam. Ibn al Qayyim (1) mengatakan bahwa kata cinta dalam Al Qur’an disebut hubb (mahabbah) dan wudda (mawaddah), keduanya memiliki arti yang serupa yaitu menyukai, mengasihi, atau menyayangi.

Cinta juga berarti ittiba wa tha’ah, ikut dan taat. Artinya, hanya dengan cinta kita bisa mengikuti atau menaati suatu hal tanpa paksaan. Lalu sebagai muslim, jelas kiranya bahwa dalam kehidupan ini Allah adalah pelabuhan dan sumber cinta itu sendiri. Allah SWT ialah satu-satunya Zat yang mencintai kita dengan sempurna.

Sesungguhnya dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan bahwasannya manusia akan cenderung mencintai apa-apa yang telah Allah ciptakan. Namun, dalam Al-Qur’an pula Allah mengingatkan umatnya agar tidak jatuh terlalu jauh mencintai dunia.  

Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah  sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)  

Hadits yang dikutip di awal tulisan ini menyatakan bahwa Allah membolehkan kita mencintai sesuatu yang bersifat duniawi, tetapi tetaplah harus didasarkan karena kecintaan kita kepada Allah SWT.

Dapat kita ambil kesimpulan, dalam islam, cinta tidak selalu identik dengan lawan jenis. Jika cinta yang kaumaksud adalah cinta kepada lawan jenis, itu adalah Gharizah An-Nau (Naluri seksual). Gharizah An-Nau dalam Islam sangatlah penting. Dengan naluri inilah manusia bisa melestarikan dirinya. Dengan naluri inilah bisa lahir para mujahid baru untuk menegakkan islam di muka bumi.

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an berkali-kali. Ia memerintahkan kita untuk mencitai suatu hal karena Allah. Maka termasuk kepada lawan jenis, kita diperintahkan untuk memilihnya hanya semata-mata karena cinta kita kepada Allah. Lalu bagaimana menyikapi Gharizah An-Nau atau naluri seksual agar tidak menjerumuskan kita pada hal yang tidak dicintai Allah?

Allah menciptakan suatu hukum yang tidak mungkin tidak bisa kita taati. Dalam Al-Qur’an, ada banyak solusi untuk menyikapi Gharizah An-Nau ini. Interaksi laki-laki dan perempuan telah diatur dalam islam. Ada tujuh rambu yang mesti kita patuhi dalam hal ini.
  1. Ghadul Bashar (Menundukan Pandangan)
  2. Menutup aurat
  3. Menjauhi khalwat (Berdua-duaan dengan yang bukan makhrom)
  4. Meminta ijin suami saat keluar rumah
  5. Menghindari safar (bepergian) 24 jam tanpa makhrom
  6. Membentuk jamaah yang terpisah antara perempuan dengan laki-laki
  7. Mengusahakan hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim hanya sebatas hubungan umum bukan hubungan khusus.
Dengan tujuh rambu di atas, maka InsyaAllah manusia bisa mengendalikan gharizah an-naunya.

Setiap orang tentu pernah atau akan merasakan cinta kepada lawan jenis. Allah tak pernah melarangnya, karena Allah sendirilah yang mengatur hati kita. Tapi sudahkah kita mencintai seseorang karena Allah? inilah yang sulit. Saling mencintai karena Allah memang tak asing di telinga namun begitu sulit diaplikasikan. Bagaimanapun, mencintai karena Allah merupakan tahap manusia mencapai sebaik-baiknya iman. Hal ini tertera dalam hadits berikut.

Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atau memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." (HR. Imam Abu Daud)

Cinta kita kepada Allah adalah bukti iman kita kepada-Nya. Maka tidak akan bisa kita beriman jika kita tidak mencintai Allah. Serti tidak akan pula kita disebut mencintai Allah jika kita tidak mencintai apa-apa yang Allah cintai. Beruntunglah mereka yang telah mencintai Allah dan Rasullullah dengan sebaik-baiknya cinta. Lalu bagaimana dengan kita yang masih disibukkan dengan urusan cinta terhadap sesama manusia, terhadap lawan jenis khususnya.

Kesungguhan mencintai karena Allah bisa dilihat dari bagaimana kita menyikapi perasaan yang Allah anugerahkan, bisa dilihat dari bagaimana kita menyikapi sebuah kedatangan atau kepergian seseorang, serta menyikapi rasa kehilangan atau peristiwa perpisahan. Terkadang, kita sering kali tidak ridha jika Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan cara mengambil kembali sesuatu yang kita cintai. Padahal bisa jadi hal itu merupakan cara Allah mengingatkan kita bahwasannya hanya Allah lah yang patut kita cintai.

Tentang kehilangan. Kaupasti pernah merasakannya. Barangkali itu adalah cara Allah mencintaimu dan membuatmu mencintai-Nya. Bagaimana pun Allah mengetahui sedang kita tidak mengetahui. Karena itu, umat muslim tak pernah punya alasan untuk merasa putus asa. Meski kehilangan adalah nyeri yang sulit diobati, tapi dapat dipastikan Allah telah menyiapkan kejutan lain yang tidak pernah kita sangka.

Mencintai karena Allah. Mengaplikasikan cinta jenis ini dalam kehidupan bukanlah perkara mudah. Kauakan banyak temui sepasang manusia yang saling mengutarakan cinta karena Allah tapi diantara mereka belum ada ikatan yang halal. Bagaimana mungkin keduanya saling mencintai karena Allah tetapi sesuatu yang telah Allah tetapkan tak mereka hiraukan. Bukankah cinta adalah ittiba wa tha'ah. Salah satu hukum Allah yang sering kali kita langgar tanpa disadari ialah persoalan menundukkan pandangan dan menjaga hati.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-nur: 30)

Jadi, jangankan menjalin sebuah hubungan sebelum menikah, saling memandang dengan yang bukan makhrom saja Allah sudah melarang. Untuk menghindari hal tersebut, kita mesti banyak memohon pertolongan Allah agar kita bisa menjaga mata dan hati kita.

“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al-Mazni.

Begitulah Rasulullah memberi jalan keluar. Ia memerintahkan kita untuk menyatukan cinta dalam ikatan pernikahan. Tapi jika diantara dua insan belum memiliki kesiapan menikah, dan cinta telah terlanjur bersemi, maka aku mengutip apa yang dikatakan Tere Liye.

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.” (Sunset Bersama Rosie-Tere Liye)

Ketika cinta sudah terlanjur memenuhi ruang hati kita, maka ikhlaskanlah cinta dan rindu tersebut pada Allah. Biar Allah yang menentukan kelanjutan perasaan kita. Biar Allah yang menyatukan kita dengan orang yang kita cintai pada sebaik-baiknya waktu dan pertemuan. Selama penantian menunggu jawaban Allah, kita bisa belajar untuk meluruskan niat menikah, memperbaiki diri, serta mencari ilmu sebanyak-banyaknya tentang jodoh dan pernikahan. Serahkanlah, Allah telah menyiapkan untuk kita pasangan yang telah ditulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Wallahualam Bishawab. Semoga kita termasuk ke dalam manusia yang mencintai seseorang karena Allah. Aamiin.

Lalu bagaimana jika Allah menyuguhkan padamu sebuah pilihan yang membingungkan?

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon petunjuk-Mu yang baik dengan pengetahuan-Mu, dan aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu, dan aku memohon kemurahan-Mu yang luas, karena sesungguhnya Engkau maha kuasa dan aku tidak memiliki kekuasaan itu, begitu pula Kau mengetahui yang ghaib-ghaib. 

Dan bila Engkau tahu sesungguhnya hal ini baik bagiku untuk agamaku, kehidupanku, dan masa depanku, maka pastikan dia padaku dan mudahkanlah dia padaku, kemudian berikan rahmat padanya. Dan Engkau mengetahui bahwasannya kejahatan bagiku, untuk agamaku, hidupku, dan hari kemudianku, maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan berilah kebaikan padaku, di mana saja aku berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridho dengan pemberian itu." 

Sesungguhnya, urusan manusia telah ada dalam kuasa-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang baik bagi hamba-Nya. Betapa kita sesungguhnya lemah dan tidak mengetahui apa-apa. Pada akhirnya, do'a istikharah mengingatkan kita untuk bisa menyerahkan semua pilihan yang ditawarkan dunia hanya kepada-Nya. Semoga kita menjadi orang yang selalu ridha dengan pilihan-Nya. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat untuk diri sendiri agar aku dapat terus berusaha mencintai seseorang hanya karena Allah SWT. Aamiin Ya Rabbalalamin.

Terakhir, aku mengutip sebuah lirik lagu. Semoga kita bisa mengaplikasikan apa yang ada dalam lirik berikut.
“Bukan cinta yang memilihmu, tapi Allah yang memilihmu untuk kucintai.” – Kang Abay


(1) al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, 



Resna J Nurkirana-
Februari 2015

Sabtu, 07 Februari 2015

Selepas Hujan Februari

Ialah kabut, titik-titik air yang dengan matamu yang lain, kaubisa lihat ia berwarna ungu. Ia serupa selimut yang sesekali luruh menjadi butiran lembut, dingin dan membelai ingatan tentang kekasihmu. Lalu biasanya, ia utuh kembali, membawamu pada dingin paling asing, mengingatkan orang-orang yang telah jauh meninggalkanmu.

2015