Minggu, 14 Agustus 2016

Menyerahkan Perasaan Kepada Tuhan

Di pengujung Juli tahun ini, aku mencoba kembali menulis. Tidak lagi tentang masa silam, tapi tentangmu. Sebab Tuhan telah pilihkan kamu. Barangkali saat ini, bahumu akan menjadi satu-satunya tempat yang aku cari ketika kelelahan. Dan senyumanmu, dan segala permohonanmu kepada Tuhan tentangku, adalah dua hal yang akan sangat aku butuhkan.

Hari ini, aku ingin menuliskan cara Tuhan mempertemukan kita.  Agar kelak waktu tak lantas menghilangkan apa-apa yang sempat singgah. Aku ingin cerita kita bersemayam di sini. Di ingatanku. Juga di ingatanmu.

Dua puluh dua Desember dua ribu empat belas adalah kali pertama aku melihat wajahmu secara langsung. Beberapa minggu sebelumnya, kamu menghubungiku melalui pesan singkat. Pesan pertama, kamu mengenalkan diri. Pesan berikutnya, kamu menyampaikan maksud untuk bertaaruf. Aku langsung bertanya dari mana kamu mengenalku. Dari teman, katamu.

Aku mengatakan padamu bahwa aku tidak punya niat untuk menikah dalam waktu dekat. Masih kuliah dan ingin melanjutkan sekolah. Lantas kamu tetap mengatakan bahwa kamu bisa menunggu. Kamu begitu meyakinkan. Saat itu kamu memiliki rencana untuk menemuiku jika aku bersedia. Akhirnya aku mencari tahu data dirimu lebih jauh melalui sosial media terlebih dahulu.

Pernah berkuliah di UPI, jurusan Pendidikan Agama Islam, lulus tahun 2011, tinggal di Garut dan sedang mengajar di Riau. Informasi tersebut akhirnya membuat aku berani menceritakan tentangmu pada ibuku. Ibu bilang, aku tidak boleh bertemu denganmu jika tidak di rumah. Maka aku memintamu untuk datang ke rumah jika ingin bertemu.

Beberapa minggu setelah pesan pertama itu, kamu datang ke rumahku selepas magrib dengan pakaian basah karena hujan. Sebelum kamu datang, aku hanya memberi tahu Bapak bahwa ka nada seseorang yang bertamu.

Di ruang tamu, kamu mengenalkan diri setelah sebelumnya ibuku terlebih dahulu menyimpan oleh-oleh yang kamu bawa. Ada hal yang mengesankan saat itu, selama berbincang panjang lebar dengan Bapak, kamu lebih banyak menundukan pandanganmu. Matamu sayu. Bicaramu begitu santun.

Bapak akhirnya memberikan kesempatan padamu untuk berbicara denganku. Setelah kita bercerita tentang satu dua hal, akhirnya kita sama-sama terdiam dan kamu tiba-tiba bertanya. Jadi bagaimana, katamu. Aku tak lantas mengerti pertanyaanmu. Sebab aku mengira kamu hanya datang untuk mengenalkan diri secara langsung. Kamu lalu mengutarakan bahwa kamu bersungguh-sungguh untuk bertaaruf dan meminta jawabanku saat itu juga. Kamu memintaku kembali memanggilkan orangtuaku, kemudian kamu menyampaikan maksud utamamu ke rumahku kepada keduanya. Bapak begitu terkejut, pun dengan Ibu. Mereka sama sekali tak mengira bahwa arah pembicaraanmu seserius itu. Bapak akhirnya meminta waktu agar aku bisa memikirkannya terlebih dahulu.

Kamu pamit pulang. Meninggalkan sebauah pertanyaan yang begitu asing.

Saat itu, hal pertama yang aku pikirkan adalah seseorang yang tengah begitu dekat denganku. Malam itu aku ingin menghubunginya. Ingin membicarakan banyak hal, tapi dia menolak. Katanya dia sibuk dengan urusan kuliah. Keesokan harinya bapak memintaku untuk memikirkan pertanyaanmu matang-matang dan segera mengambil keputusan. Bapak mengatakan, kamu lelaki baik. Lantas aku menangis di hadapan ibu. Ia bertanya, apa yang membuat aku ragu menerimamu. Lelaki itu, kataku. Aku terlanjur menyusun harapan baik untuk bisa bersama lelaki itu kelak. Bagaimana dengannya, apa ia juga mempunyai harapan yang sama denganmu, ibu bertanya demikian. Entah, aku bilang pada ibu aku tidak tahu. Lantas Ibu semakin yakin bahwa aku seharusnya tidak memiliki alasan untuk menolakmu. Sebab menurutnya, hal penting dalam mencari pendamping hidup adalah memilih seseorang yang bersedia membimbing kita  menjadi seseorang yang lebih taat.   

Aku juga meminta pendapat kepada sahabatku. Ia mengatakan hal yang sama dengan ibu. Ia juga menyuruhku untuk menyerahkan segala urusan kepada Tuhan. Saat itu, shalat istikharah belum juga membuat aku genap menentukan pilihan.  Aku memberanikan diri menceritakan tentangmu pada lelaki itu. Kamu tahu jawabannya? Ia mengatakan bahwa semoga kamu adalah seseorang yang memang Tuhan pilihkan untukku. Begitu kurang lebih. Aku menangis saat itu. Sebab nyatanya keinginan kita kadang-kadang memang tak sejalan dengan rencana Tuhan.
Aku menyerahkan keresahanku saat itu kepada Tuhan. Ia yang telah mengirimkanmu secara tiba-tiba. Maka melalui istikharah aku benar-benar meminta petunjuk-Nya.

Jjika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku, duniaku, akhiratku, dan agamaku, maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah untukku, dan berkahilah ia untukku. Jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini tidak baik untuk agamaku, hidupku di dunia, dan hidupku di akhirat, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya. Dan jadikanlah aku ridha atas semua yang telah Engkau takdirkan kepadaku.

Saat itu akhirnya aku memberimu jawaban melalui pesan singkat dengan perasaan yang masih ganjil. Aku menerimamu. Kamu memanjatkan syukur, kemudian mengingatkanku tentang tiga hal. Niat, ilmu, dan kesiapan untuk saling memperbaiki diri. Saat itu kita mesti segera meluruskan niat menikah hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Kita mesti mulai mencari ilmu lebih banyak tentang pernikahan, sebab kita tahu menjalani peran setelah menikah bukan perkara mudah. Kita juga mesti segera memperbaiki diri agar lekas pantas di hadapan Tuhan ketika dipersatukan.

Beberapa hari setelah aku memberikan jawaban, kamu kembali ke rumah untuk membicarakan rencana berikutnya. Kamu datang ke rumah dengan kembali membawa makanan dan sebuah novel. Saat itu kamu sudah mengetahui bahwa aku begitu tertarik pada literasi.

Di ruang tamu, kita akhirnya memutuskan untuk melaksanakan khitbah pada bulan Juni 2015. Kita juga membuat beberapa kesepakatan yang kita tulis di sebuah kertas. Tidak menghubungi jika tidak ada hal penting dan mendesak. Tidak bertemu tanpa ditemani makhrom. Membaca minimal tiga referensi buku tentang pernikahan. Menghadiri pengajian minimal satu kali dalam seminggu. Menghadiri seminar-seminar pernikahan. Dan menikah setelah sidang atau wisuda.

Adalah sulit, menunggu bulan Juni dengan harus menjalani kesepakatan yang telah kita buat. Aku sering merasa bahwa Tuhan begitu giat memberi ujian. Perasaan ragu, datangnya lelaki lain, keinginan untuk melanjutkan sekolah lagi, dan ujian lainnya yang pada akhirnya hanya membuat aku semakin lalai memantaskan diri.

Beberapa kali aku meminta Ibu dan sahabat-sahabatku utuk meyakinkan aku bahwa semuanya harus aku teruskan. Sampai akhirnya kita bertemu kembali pada bulan Juni dua ribu lima belas. Ada yang tidak baik-baik saja.  Aku memang tidak menyesali acara khitbah itu, tidak juga merasa sedih. Hanya saja seharusnya saat itu aku merasa sangat bahagia, tapi aku tidak mampu merasakan apa-apa.

Akhirnya aku memasrahkan perasaanku kepada Tuhan. Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa Tuhan telah mengatur semuanya. Ia lebih mengetahui apa-apa yang baik untuk makhluk-Nya.

Selepas khitbah, kita akhirnya memulai penantian selama satu tahun menuju pernikahan. Beberapa kesepakatan bisa aku jalani dengan mudah, tapi beberapa yang lain begitu sulit. Jika aku melakukan kontak dengan lelaki lain tanpa ada hal mendesak, perasaan bersalah akan muncul dan begitu mengganggu. Perasaan ragu pun semakin lama semakin akut. Akhirnya aku mengalihkan keraguan itu dengan terus mendatangi seminar-seminar pernikahan yang bisa meyakinkan hatiku bahwa kamu adalah lelaki terbaik yang Tuhan pilihkan. Membaca banyak buku yang akhirnya menyadarkanku bahwa kehidupan bukan hanya persoalan mengurus perasaan, melainkan perjalanan untuk menghilangkan jarak dengan Tuhan.

Selama satu tahun penantian, kamu  jarang menghubungiku, pun sebaliknya. Sesekali kamu hanya menelepon orang tuaku untuk bertanya kabar. Selebihnya aku yakin kau tengah sibuk memperbaiki diri, sedangkan aku hanya sibuk memohon kepada Tuhan agar aku mampu menata hati dengan baik.

Semakin mendekati hari pernikahan, perasaanku belum juga berubah. Perasaan yang semestinya mulai ada, belum juga aku rasakan. Akhirnya aku terus mencari banyak hal yang bisa meyakinkanku agar tidak mengundurkan diri dari kesepakatan yang terlanjur kita buat.

Dari Abu Hurairah r.a. “Sesungguhnya  Allah Swt. pada hari kiamat berfirman: Di manakah orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku pada hari ketika  tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim)

Hadits-hadits tentang cinta yang aku temukan pada akhirnya membuat aku yakin untuk menyempurnakan separuh agamaku dan memperbaiki cintaku kepada Tuhan dengan cara menikah denganmu.  

Dua ribu enam belas. Undangan, dekorasi, ketring, dan semua hal yang mesti disiapkan untuk pernikahan lebih banyak diurus oleh ibu dan bapak, sebab aku begitu sibuk mengurus skripsi dan kekhawatiran. 

Pada awal Juni, skripsiku akhirnya selesai. Aku mendapat tanda tangan dua dosen pembimbing dengan mudah. Sehingga dua puluh dua Juni aku bisa mengikuti sidang dan kemudian dinyatakan lulus.

Tiga belas Juli. Hari pernikahan itu tiba. Aku menikah denganmu, seseorang yang hanya aku temui beberapa kali. Satu-satunya lelaki yang berani menemui keluargaku secara langsung, mendekatiku dengan cara meminta kepada Tuhan terlebih dahulu, menjagaku dengan penjagaan terbaik  melalui doa-doa yang kamu panjatkan. Lelaki yang akhirnya membuat aku yakin bahwa cinta yang semestinya kita perjuangkan adalah cinta kita kepada Tuhan dan cinta Tuhan kepada kita. 
Sekarang, setelah menikah denganmu aku tidak harus lagi menyusun halaman-halaman skripsi, aku mulai menyusun perasaan demi perasaan yang entah apa namanya. Setelah setahun lebih bergelut dengan rasa ragu, pada akhirnya Tuhan tetap menginginkan aku menetap sebagai perempuanmu.

Semoga sekarang mataku adalah sebaik-baik tempat ketika kamu pulang.

 Riau, 2016