Sabtu, 15 Maret 2014

"KEJENUHAN SAYA MEMBACA SAIA"

Esai Resna J Nurkirana

Saia merupakan kumpulan cerpen terbaru Djenar Maesa Ayu yang terbit pada bulan Januari 2014. Sebelum Saia, Djenar telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen lain diantaranya Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Nayla, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, dan T(w)itit. Tulisan-tulisan Djenar memang lebih sering berbicara mengenai perempuan, seks, dan hal semacamnya. Namun dalam esai ini, saya tidak akan berbicara mengenai feminisme ataupun pornografi, melainkan bunyi, irama dan rasa jenuh.

"Ketika Dan pertama kali bisa mengingat, itulah awal ia mengenal Lalu. Saat itu Lalu adalah orang yang sangat lugu. Dan ingat betul hari pertama Lalu pergi ke sekolah. Rambutnya yang di kucir kuda berpita merah. Tangannya digandeng oleh pembantu. Sementara anak-anak lain datang diantar Ibu. Gerak tubuhnya kaku. Sorot matanya ragu. Lalu seolah tenggelam di dalam lautan orang tua, murid, dan guru." (Kutipan cerpen DAN LALU-Djenar Maesa Ayu)

Kutipan di atas adalah salah satu paragraf yang begitu memperhatikan bunyi. Penulis begitu teliti ketika memilih diksi-diksi yang dipakai dalam mengungkapkan sebuah alur. Tapi bisa dibayangkan, ketelitian penulis mengenai bunyi tersebut, kita dapatkan pada setiap paragraf, pada setiap cerpen.

Bunyi begitu identik dengan puisi. Namun sebenarnya, bunyi bisa berlaku pada bentuk karya sastra lainnya semisal prosa. Pengertian bunyi itu sendiri menurut Pradopo dalam bukunya Pengkajian Puisi (22: 2012) ialah  unsur puisi untuk menciptakan keindahan dan tenaga ekspresif. Menurutnya, bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.

Dalam cerpen saya berjudul Alegori Hujan, saya mencoba memainkan bunyi pada diksi-diksi yang berada di akhir kalimat pada beberapa paragraf. Namun untuk beberapa pembaca, mereka justru merasa terganggu dengan usaha saya untuk membuat tulisan lebih terasa liris tersebut.

Ia menyandarkan punggungnya di tiang lampu jalan yang berkarat, di bawah cahaya yang hampir sekarat. (Kutipan cerpen Alegori Hujan-Resna J Nurkirana)

Jika berbicara mengenai pembaca yang merasa terganggu dengan adanya permainan bunyi, maka akan sangat bersifat subjektif. Beberapa pembaca bisa jadi tidak mempermasalahkan dominasi bunyi tersebut, beberapa menyukai atau sebaliknya.  Namun pada pembahasan ini, saya akan menunjukkan betapa sesuatu yang berlebihan bisa membuat kita jenuh dan bosan.

Pada dasarnya, tulisan yang disebut memiliki unsur bunyi tidak selalu harus memiliki awalan atau akhiran yang sama. Bunyi itu sendiri dibagi menjadi dua, eufoni dan kakofoni. Merdu dan tidak merdu. Begitulah bunyi. Sehingga jika kita menemukan sebuah tulisan yang tidak berakhiran sama pada suku kata terakhirnya, tulisan tersebut tetap dikatakan memiliki bunyi, yaitu bunyi yang tidak beraturan atau kakofoni.

Jika memanga bunyi tersebut terdengar sama dan teratur, maka kita masuk dalam pembahasan irama. Pradopo mengartikan irama merupakan bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi bunyi yang hidup. Jika kita melihat kembali kutipan cerpen Dan Lalu karya Djenar di atas, maka dapat  disimpulkan bahwa Djenar memasukan bunyi yang berirama dalam tulisannya. Akhiran vokal dan konsonan di setiap akhir kalimat selalu sama. Berikut kutipan paragraf berirama lainnya dalam buku Saia.

Nayla terpogoh-pogoh sepanjang koridor. Dipacunya kembali semangat yang sempat kendor. Ia sadari jika pertemuan kali ini sedetik pun tak boleh molor. Demikian yang tempo hari berkali-kali diingatkan bosnya karena klien mereka adalah seorang pesohor. (Kutipan cerpen Nol Dream Land- Djenar Maesa Ayu)

Kafe yang menghadap persis ke pantai itu terlihat masih sepi. Hanya ada dua meja yang sudah terisi. Tapi Nayla sama sekali tak peduli. Matanya bersemi. Bibirnya berseri. Hatinya merasa pasti. Akan datang yang ia nanti. (Kutipan cerpen Sementara-Djenar Maesa Ayu)

Ibu Pram mendengarkan semuanya dari luar dengan hati meradang. Ia menyesal telah pulang. (Kutipan cerpen Kulihat Awan-Djenar Maesa Ayu)

Di atas adalah tiga dari enam belas cerpen Djenar dalam buku Saia. Bisa dibayangkan ketika membaca enam belas cerpen dengan bunyi berirama di setiap paragrafnya. Hakikat bunyi yang tadinya sebagai hiasan, djenar perlakukan seolah bunyi adalah kewajiban. Jika memang tujuan Djenar adalah untuk mengedepankan estetika bahasa, justru usahanya malah menghilangkan keindahan bahasa itu sendiri.  Jelas sekali bahwa Djenar memaksakan diksi-diksinya agar berirama sama. Hal itu terlihat dari diksi atau ungkapan yang sebetulnya bisa diganti dengan diksi yang memiliki makna lebih tepat. Seperti kalimat karena klien mereka adalah seorang pesohor. Maksud Djenar mengungkapkan bahwa tokoh klien adalah seorang pesohor, tidak memiliki penjelasan apa pun sebelum atau setelahnya. Djenar seolah larut dalam euforia bunyi bahasa yang ia ciptakan. Kalaupun memang makna setiap diksi yang berirama tersebut sangat mendukung maksud cerita, Djenar seharusnya memperhatikan pula kejenuhan yang akan dialami pembaca.

Saya teringat cerpen Avianti Armand yang juga di dalamnya terdapat permainan bunyi. Dan saya begitu larut di dalamnya.

Di atas Nunnuies, matahari berkedip-kedip ketika segerombolan besar camar terbang melintasinya. Mereka menjerit-jerit  seperti anak lapar, sambil mengepak-ngepakkan sayap ke tubuh. Begitu riuh. Tapi penduduk kota kecil di tepian Gibraltar itu tak sempat memperhatikan camar-camar di langit. Mata mereka terpaku ke satu titik di kakinya.  (Kutipan cerpen Dongeng dari Gibraltar- Avianti Armand.)

Dalam kutipan di atas, Avianti terlihat memainkan bunyi. Avianti berhasil menjadikan bunyi sebagai unsur estetik yang mampu menciptakan suasana dan menimbulkan imaji yang jelas. Jika kita mengamini pendapat Pradopo yang menyatakan bahwa bunyi adalah hiasan dalam sebuah karya sastra, maka sudah selayaknya kita tidak memakainya secara berlebihan.

Pada akhirnya, permasalahan bunyi ini barangkali dikembalikan kepada selera pembaca. Hanya saja, tulisan Djenar akan lebih sempurna jika unsur bunyi tidak mendominasi.


Maret 2014 

9 komentar:

  1. Tulisan bagus. Meski saya belum membaca SAIA, tapi kesan saya pada beberapa cerpen yang ditulis Djenar adalah jenuh pula. Akan tetapi, bukan jenuh karena rima seperti yang ditulis di atas, tapi jenuh pada tema yang menurut saya tidak berkembang.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mas. komentar Mas Jati menunjukkan bahwa permasalahan bunyi ini memang akan sangat subjektif. Mungkin juga akan ada yang menilai bahwa irama dalam setiap paragraf yang Djenar ciptakan menjadi ciri khas dan kelebihan Djenar. Tapi untuk saya pribadi, saya sangat terganggu dengan bunyi-bunyi tersebut. Permasalahan tema, Djenar barangkali memang sudah memiliki homologi mengenai seks dan feminisme.

    BalasHapus
  3. Iya, saya pribadi berpikir bahwa irama memang ciri khas Djenar. Hampir semua cerpen yang pernah saya baca menggunakan rima. Berarti apakah jika seorang penulis memiliki homologi dengan suatu hal, ia hanya akan berbicara tentang apa yang menautkannya?

    Salam kenal, Mbak. Saya Pangestu Jati dari Yogyakarta. :)

    BalasHapus
  4. Salam kenal juga Mas Jati. :) Saya dari Bandung.

    Permasalahan rima merupakan ciri khas djenar, saya tidak begitu setuju. Karena dalam kumpulan cerpennya yang lain seperti *jangan main-main dengan kelamin, hampir di seluruh cerpennya, djenar tidak memainkan rima.

    Permasalahan homologi, saya belum begitu paham. Tapi biasanya, jika seseorang sudah memiliki pandangannya terhadap sesuatu, tulisannya akan konsisten membicarakan hal tersebut. Perihal tema, djenar memiliki ide2 unik dalam setiap cerpennya. Meskipun pembicaraanya tidak jauh dari seks dan feminisme.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di "jangan main-main dengan kelamin", saya menemukan, mbak. Misalnya pada kutipan ini "Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak terlintas di kepala saya tentang pernikahan" ini kan menunjukkan bahwa Djenar memainkan irama "an", bukan? Dan pada beberapa cerpen lain juga banyak yang memainkan irama di sana.

      Menurut mbak, apakah mbak setuju dengan konsep bahwa penulis hanya berbicara pada suatu homologi saja?

      Hapus
  5. Memang ada, tapi tidak sekonsisten SAIA yang di setiap paragrafnya memakai rima. Homologi menurut Mas apa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf, saya salah memaknai homologi yang mbak maksud. Maksud saya, menurut mbak, apakah mbak setuju dengan konsep bahwa penulis hanya berbicara pada hal yang itu-itu saja? Misalnya, Djenar yang berbicara tentang perempuan dan seksual, atau Ayu Utami yang terus berbicara mengenai Tuhan, Seks, dan Ketidaknormalan.

      Hapus
  6. itu menjadi pilihan penulis. Kalau saya pribadi tidak bermasalah dengan itu, kalau saya bosan membaca tentang perempuan, saya tidak akan memilih cerpen djenar. Kalau saya bosan membaca tentang kritik terhadap negara, saya tidak akan memilih puisi WS. Rendra. Itu barangkali. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh begitu.. Terima kasih mau berbagi argumen, Mbak :)

      Hapus