Rabu, 16 Juli 2014

Polemik Sastra Sufistik, Profetik, dan Religius


Essay Resna J Nurkirana 

link cerpen rumah yang terang

Akan menjadi sia-sia ketika kita harus mencari berbagai macam penjelasan untuk kemudian kita jadikan sebagai acuan dalam membuat sebuah pengelompokan atau pendikotomian. Seperti halnya para sufi, mereka tidak lagi mengelompokan seperti apa ahli surga dan seperti apa ahli neraka. Para sufi yang menjalankan ilmu tasawuf akan lebih fokus mencari cara untuk bisa benar-benar mencintai Tuhannya. Pun dengan karya sastra, barangkali kurang bijak jika kita menyelami suatu karya sastra hanya untuk mengelompokkan atau menentukan jenis sebuah tulisan. Mencontoh para sufi, seharusnya seorang penulis atau pembaca tidak perlu lagi dibingungkan dengan penamaan sebuah karya, melainkan disibukkan dengan pencarian makna dan hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya. Hanya saja, pengelompokkan sebuah karya sastra memang sering kali menjadi sebuah perdebatan kecil di kalangan penikmatnya. 

Sastra Sufistik
Proses yang dijalankan oleh para sufi dalam mencari cinta Tuhannya berpotensi besar melahirkan sebuah dorongan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk karya. Karena para sufi biasanya menggunakan tamsil atau simbol-simbol dalam mengungkapkan gagasan dan pengalaman rohaninya, maka karya yang dibuat oleh para sufi biasanya berupa musik, tarian, gaya arsitektur, dan tentu saja karya sastra.  

Karya sastra yang paling dekat dengan para sufi biasanya puisi.  Namun tidak menutup kemungkinan para sufi juga menulis karya sastra lain seperti hikayat, cerpen, dll. Jelas kiranya jika kita menemukan sebuah karya sastra yang berhubungan dengan keesaan Tuhan dan ditulis oleh seorang sufi maka karya tersebut dapat kita sebut sebagai sastra sufistik.

Sastra sufi ini sendiri berkembang pada abad ke 8 dimana para penyair sufi mulai banyak dikenal seperti Rabi’ah al adawiah, imam al-ghazali, Jalaluddin Rumi dll. Di Indonesia sendiri Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, dan K.H Hasan Mustafa ialah para sufi yang aktif menulis puisi.Yang menjadi permasalahan adalah jika kita menemukan puisi atau cerpen yang berisi tentang pengalaman tokoh seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden, namun penulisnya bukan seorang sufi, apakah karya tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sastra sufi? Atau jika ada seorang sufi menulis cerita mengenai hal-hal berbau politik dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan apakah tulisannya tetap dinamakan sastra sufi?
Sederhananya, penyebutan sastra sufi apakah bergantung pada siapa yang menulisnya atau apa yang dtulisnya?

Aprinus Salam dalam bukunya Oposisi Sastra Sufi (2014:4) menyatakan bahwa sastra sufi ialah karya sastra yang mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika kita mengamini pendapat Aprinus, maka jelas terjawab bahwa suatu karya sastra disebut sastra sufi jika mengandung prinsip-prinsip yang disebutkan di atas.

Abdul Hadi WM (1985) sendiri menyebutkan beberapa tokoh sastrawan yang menulis sastra sufi diantaranya para prosaik seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji, Sapardi, dll. Meskipun tokoh-tokoh yang disebutkan di atas tidak dikenal sebagai seorang sufi, namun sebuah sumber menyebutkan bahwa mereka juga mempelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius termasuk menerjemahkan beberapa karya penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib. Kesimpulannya, penyebutan sastra sufi bukan dilihat dari siapa penulisnya tapi apa yang ditulisnya.

Sastra Profetik
Lantas bagaimana dengan sastra profetik? Beberapa minggu lalu saya mendengar seseorang menyatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menyinggung ramalan tentang masa depan, beberapa lagi menyamakan profetik dengan sufistik, beberapa yang lain menganggap bahwa sastra profetik merupakan sebuah kajian. 

Kuntowijoyo dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etik dan Struktur Sastra menyatakan bahwa sastra profetik ialah sebuah karya sastra yang mencerahkan. Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Sehingga ia menyebut sebuah sastra dengan sebutan profetik apabila karya tersebut berisi tentang hal-hal yang mengajak manusia menuju kebenaran, melanjutkan tradisi kerasulan.

Untuk profetik ini saya mengkaji sebuah cerpen berjudul “Rumah Yang Terang” karya Ahmad Tohari. Cerpen ini mengisahkan seorang anak yang harus menerima cemoohan tetangganya dikarenakan keputusan Ayahnya yang menolak untuk memasang listrik. Keputusan Ayahnya telah merugikan dua tetangga yang berada di belakang rumahnya. Alhasil ayah dari tokoh aku dituding sebagai orang yang bakhil atau seorang pemelihara tuyul. Tokoh aku yang merasa sangat  terganggu dengan gunjingan warga akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan alasan Ayahnya tidak mau memasang listrik. Seperti kutipan di bawah ini.

Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih menyakitkan.

Jawaban Ayah dari tokoh aku yang masih disembunyikan oleh penulis membuat pembaca bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi alasan tokoh ayah enggan memasang listrik. Penulis pun memberikan jawaban pada akhir cerita dimana jawaban tokoh ayah pada mulanya mengecewakan saya sebagai pembaca.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”.

Jika ditilik kembali, tokoh Ayah memang seseorang yang begitu relijius. Hal ini ditandai dengan seringnya ia berdzikir dengan tasbih. Keputusan tokoh Ayah untuk tidak memasang listrik cenderung mengarah pada seseorang yang mendalami ilmu tasawuf. Dalam Jurnal Sajak (2011:42) Abdul Hadi WM menyatakan bahwa para sufi biasanya menolak terikat pada dunia dan tidak menyukai materialisme. Listrik bisa disebut sumber dari segala bentuk materialisme. Televisi, radio, laptop, handphone semunya dibantu untuk hidup dengan listrik. Sekilas dapat disimpulkan bahwa tokoh Ayah memang menyerupai para sufi. Namun Abdul Hadi WM juga melanjutkan dalam esaynya, meskipun sufi menolak materialisme, para sufi tetap mencintai kemanusiaan dan keindahan dunia, karena alam kejadian dan kemanusiaan merupakan manifestasi daya cipta dan cintaNya. Keputusan penulis untuk menyimpulkan bahwa tokoh Ayah tidak menghendaki listrik dikarenakan agar mendapat cahaya di alam kubur, cenderung memunculkan sikap tokoh Ayah yang hanya mementingkan diri sendiri. Mengabaikan keluhan dua tetangganya yang berada di belakang rumahnya. Sehingga jawaban Ayahnya yang menyatakan demikian saya rasa telah mematahkan pendapat bahwa ayahnya mencoba menjalani ilmu tasawuf. 

Yang perlu digarisbawahi ialah, untuk menentukan sebuah cerpen apakah sufistik atau profetik bukan hanya dilihat dari identitas atau watak tokoh, melainkan tema, isi, dan tujuan penulis. Jika kita mengkaji lebih jauh, justru unsur profetik lah yang begitu mendominasi. 

Listrik barangkali diibaratkan sebagai sumber dari segala cahaya. Bahkan cahaya listrik mampu membuat bulan tak lagi bermakna di mata orang-orang. Keputusan tokoh ayah untuk menolak listrik agar tidak kekurangan cahaya di alam kubur bisa jadi memiliki maksud bahwa listrik sebagai sumber cahaya bisa saja menyita waktu hidupnya untuk hal-hal yang mudarat dan melupakan akhirat. Artinya, cahaya di alam kubur yang dimaksud tokoh ayah bukan cahaya dalam makna sebenarnya melainkan keselamatan kubur.

Dalam essaynya Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra profetik ialah sastra yang menentang moderenisitas dan sastra yang mampu memanusiakan manusia (amar maruf). Cerpen Rumah yang Terang menjelaskan kepada pembaca bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia. Manusia sejatinya diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhannya, hanya saja arus moderenisasi yang menjadikan IPTEK sebagai kebutuhan manusia telah membuat manusia lupa untuk apa sebenarnya manusia diciptakan.

Dari pemaparan di atas, maka akan ditarik kesimpulan bahwa cerpen Rumah yang Terang bisa disebut sastra profetik. Sastra yang menunjukan nilai-nilai transenden. Sastra profetik lebih membawa pencerahan dan tidak melulu sibuk mengurus hablumminallah (melangit) tetapi juga hablumminannas (membumi).  Dalam cerpen ini kita tidak digiring kepada suatu hal yang bersifat meng-esa-kan Tuhan dan sebagainya. Penulis lebih fokus pada bagaimana seharusnya kita hidup di dunia, bagaimana seharusnya bersikap kepada orang tua, tetangga, dan bagaimana cara kita menyikapi perkembangan zaman.

Setelah mengkaji cerpen Ahmad Tohari, saya menyimpulkan bahwa sastra sufistik dan profetik jelaslah memiliki perbedaan. Sastra sufistik lebih bersifat spesifik sedang profetik lebih luas lagi karena di dalamnya bukan hanya membahas Ketuhanan melainkan kemanusiaan, pencerahan jiwa dan pencerahan sosial. kemudian bagaimana dengan sastra religius?

Semua karya sastra pada hakikatnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan maka bisa disebut sastra religius. Lagi pula jika melihat kembali konsep dulce dan utile sastra memang sudah seharusnya membawa nilai-nilai kebaikan atau pun kebenaran. Sehingga, sastra profetik dan sastra sufistik tentu saja akan masuk kedalam kelompok sastra religius.

Mengelompokkan karya sastra pada akhirnya cenderung sia-sia. Seperti yang dikemukakan oleh Suno Wasono dalam Jurnal Sajak (2011:92) bahwa menggolong-golongkan karya ke dalam mazhab-mazhab atau aliran merupakan suatu pekerjaan yang sulit bahkan mustahil untuk dilakukan karena kenyataannya batas-batas antara aliran tidak pernah tegas. Hal ini juga barangkali berlaku untuk menggolongkan apakah karya tersebut masuk ke dalam karya sufistik, profetik, atau relijius. Sederet mazhab bisa saja dikemukakan, tetapi ketika ciri itu dihadapkan langsung pada karya, akan ditemukan suatu kenyataan lain yang membuat kita harus berpikir ulang. 

*disampaikan di reboan Asas UPI 16 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar