Sabtu, 23 November 2013

Perjalanan Pulang - Resna J Nurkirana

Hari ini aku dibuat berpikir karena banyak hal. Hari ini aku dibuat bersyukur atas segala hal. Dan hari ini aku dibuat menangis oleh sesuatu hal.

Berbeda dengan hari-hari biasanya yang selalu terburu-buru saat pulang, hari ini kegiatan di kampus selesai lebih awal. Cuaca cerah yang dengan angkuhnya menawarkan kenangan, membuat aku enggan untuk langsung pulang. Di perjalanan, aku teringat senja di rel kereta. Aku lantas mengendalikan motorku untuk sampai di tempat tersebut. Tiba di sana, anak-anak rel tak sebanyak biasanya, hanya ada dua tiga orang dewasa yang membuat aku mengurungkan niat untuk menikmati senja di tempat tersebut. Lalu aku melanjutkan perjalanan, mataku tidak bisa lepas dari langit dengan awan yang aku rasa begitu liris sore ini.

Hari ini Tuhan begitu berbaik hati pada semua makhuk dengan menyuguhkan keindahannya melalui alam, dan tidak terkecuali pada seorang kakek tua yang sedang tertegun di depan deretan jagung bakar yang ia jual. Entahlah, tiba-tiba aku menghentikan motorku dan memarkirkannya dengan sempurna di depan kakek tersebut. Berapa Kek, kataku. Ia menjawab lima ribu. Lalu aku membeli dua jagung yang terlihat sedikit gosong dan sudah dingin. Aku mengucap terima kasih, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku lalu berpikir bahwa ada dzat yang benar-benar mengatur seluruh kehidupan, -Allah. Siapa lagi yang sudah mengatur rezeki kakek tersebut kalau bukan Allah. Aku sama sekali tak berniat untuk membeli jagung, tapi bagaimanapun rezeki sudah ada yang mengatur. Kalau bukan karena ada buruh yang berdemo, aku tidak mungkin melewati jalan dimana kakek itu berjualan.  Kalau bukan karena Allah, dua lembar lima ribuan tadi tidak mungkin sampai di tangan kakek tersebut. Subhanallah!

Kemudian aku memikirkan nasib jagung kakek tersebut yang tidak terjual nantinya, apakah kakek itu selalu merasa cemas setiap harinya. Entah, yang jelas aku teringat dengan kegiatanku belakangan ini -berjualan di kampus. Ya, kerap aku sering disibukkan memikirkan daganganku yang takut tidak habis, aku disibukkan dengan menghitung keuntungan dan sebagainya. Padahal seharusnya ada yang lebih pantas aku pikirkan daripada terus menerus memikirkan diri-sendiri.

Sesampai di rumah, aku langsung menyalakan televisi dan menonton Orang Pinggiran. Buyung Abun, seorang kakek tua yang mampu membuat aku menangis karena kisah hidupnya. Dulu, ia terlahir seperti kebanyakan anak normal lainnya, hingga pada umur satu tahun, kakek tersebut buta karena suatu penyakit yang tidak pernah diobati. Lalu ibunya memanggil kakek tersebut Buyung Abun, yang artinya Anak Buta. Astagfirullah, betapa sesak hati ini saat mendengar pernyataan tersebut. Aku terus menyaksikan kisahnya. Ia tidak memiliki istri sampai sekarang, tidak laku katanya. Dalam kesehariannya, ia ditemani dua ekor kambing yang ia beli saat kambing tersebut masih bayi, kambing itulah yang sering menemani hari-harinya. Kakek tersebut mencari uang dengan menjadi buruh pembuat gula aren. Dengan matanya yang buta, ia bisa memanjat pohon, memasak aren, mencetak, dan menjualnya ke sebuah warung yang jauhnya berkilo-kilo. Uang hasil jerih payahnya ia belikan untuk membeli lauk. Ia memasak sendiri, makan sendiri, segalanya sendiri. Kalian bisa bayangkan betapa sepinya hidup kakek tersebut.

Pada saat malam tiba, gubuknya otomatis akan sangat gelap karena tak ada listrik. Lalu aku berpikir, apa bedanya dengan ada listrik. Siang dan malam sama seja gelapnya di mata kakek Abun. Ya Allah... dalam heningnya malam, ia lalu memukul rebana untuk memecah keheningan, menyanyikan pujian-pujian untukMu. Subhanallah...

Kebutaan, kesendirian, kemiskinan, cukup untuk menjadikan dia orang yang pantas berkeluh kesah meratapi kesulitan hidupnya. Tapi Kakek Abun begitu tegar, ia tetap ikhlas menjalankan takdirMu. Ah, siapa yang tahu. Bisa jadi hatinya begitu sakit, bisa jadi ia selalu ingin menangis setiap malam, tak ada yang tahu. Mungkin hanya Allah tempat dia mencurahkan segala kepedihannya.

Ya, aku menangis. Lagi-lagi aku tak bisa melakukan apapun untuknya. Ia hanya satu dari ribuan orang yang menjalani kehidupan dengan penuh kesulitan. Ya Allah, aku hanya bisa mendoakannya. Kakek Buyung Abun, semoga Allah selalu bersama Kakek, Aamiin.


Hari ini aku dibuat berpikir karena banyak hal. Hari ini aku dibuat bersyukur atas segala hal. Dan hari ini aku dibuat menangis oleh sesuatu hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar