Sabtu, 11 Januari 2014

Kajian Cerpen oleh Resna J Nurkirana



“Tanda-Tanda Kebinatangan Manusia dalam Cerpen Kupu-Kupu
Karya Avianti Armand”

A.    PENDAHULUAN

Bahasa merupakan sistem tanda. Tanda merupakan sesuatu yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. Ketika kita menyebut kupu-kupu maka pikiran kita akan mengarah pada sebuah hewan bersayap indah. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyi pada seni musik atau warna pada lukisan (Pradopo, 2012:121). Warna dan bunyi belum memiliki arti sebelum digunakan untuk berkarya, tetapi bahasa sudah memiliki arti meski belum dimasukkan ke dalam karya sastra. Kupu-kupu dalam sebuah karya sastra bisa jadi bukan mengarah pada gambaran hewan seperti yang kita pikirkan, tapi  mengarah pada seorang perempuan yang masyarakat sebut pelacur. Begitulah kata dalam karya sastra memiliki fungsi tanda. Di masyarakat, pelacur lebih dikenal dengan sebutan kupu-kupu malam. Dalam novel ini Avianti Armand menceritakan tokoh pelacur yang ia umpamakan sebagai kupu-kupu dengan sayap koyak dan warna pelangi.
Setelah dianalisis, cerpen ini tidak cukup hanya dikaji dengan menggunakan struktural. Diksi dan perumpamaan yang diungkapkan pengarang bersifat multitafsir. Maksud pengarang tidak dapat dimengerti secara menyeluruh jika analisis cerpen ini hanya berpaku pada unsur-unsur di dalam teks. Maka dari itu cerpen ini memerlukan pengkajian tanda-tanda.

B.     TEORI SEMIOTIKA

Secara definitf, menurut Paul Cobley dan Lizta Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang berarti tanda. Dalam pengeritan lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan menjadi efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus (Ratna, 2013:97).
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah system tanda. Menurut North (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali jika diinterpretasikan sebagai tanda. Lebih jauh Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer (Ratna, 2013:112).
Nyoman Kutha Ratna (2013) melanjutkan bahwa bahasa metaforis konotatif, dengan hakikat kreatifitas imajinatif, merupakan faktor utama mengapa karya sastra didominasi oleh system tanda. Sebagai akibat kemampuan sastra dalam menjelaskan tanda-tanda, maka dapat ditentukan ciri-ciri dominan periode tertentu, misalnya pandangan dunia dan ideologi kelompok, jenis hegemoni yang sedang terjadi, dan berbagai kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat, yang secara objektif sulit dideteksi.  

C.    TANDA-TANDA KEBINATANGAN MANUSIA

Mencari makan, berkembang biak, tumbuh, dan memiliki nafsu merupakan kesamaan yang dimiliki manusia dan binatang. Perbedaan yang paling mendasari keduanya ialah akal dan pikiran. Akal dan pikiran ini yang akhirnya membawa manusia menempati posisi sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan makhluk lain. Hewan mengandalkan instingnya untuk melakukan sebuah tindakan. Berbeda halnya dengan manusia yang selalu berpikir untuk melakukan sesuatu, baik atau buruk selalu dijadikan pertimbangan. Ketika manusia tidak menggunakan akal dan pikirannya maka muncul istilah bahwa manusia memiliki tanda-tanda kebinatangan.
Tanda-tanda kebinatangan manusia ialah munculnya sikap atau perilaku binatang pada seorang manusia. Dalam cerpen Kupu-kupu, manusia digambarkan layaknya binatang. Ketika lapar, binatang akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan makan. Binatang bisa saja mencuri, membunuh, atau bertarung sedangkan dalam cerpen ini manusia dikisahkan mencari makan dengan cara menjual diri dan menjual orang lain.
     
D.    KAJIAN

1.      Sinopsis

               Cerpen kupu-kupu mengisahkan seorang perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Perempuan itu seolah dilahirkan tanpa memiliki sebuah pilihan. Ia dibeli oleh seseorang seharga nasi. Kini perempuan itu tidak bisa pergi dari kehidupannya yang terlanjur hitam. Setiap malam ia menjajakan dirinya di jalan, datang ke rumah pelanggan, dan selalu pulang membawa uang dan setumpuk dendam. Perempuan itu menganggap kota yang ditempatinya serupa hutan berisi binatang-binatang yang butuh hiburan. Ia menceritakan suatu malam ketika harus menemui babi-babi, sekelompok anjing hutan, dan serigala tua di sebuah rumah besar.
               Meski kemungkinan menemukan kebahagiaan itu sangat kecil, perempuan yang menyebut dirinya sebagai kupu-kupu tersebut tetap memiliki sebuah harapan.

2.      Luruhnya Sifat Kemanusiaan
                   Simbol-simbol yang menyamakan kota dengan hutan, manusia dengan hewan, pelacur dengan kupu-kupu, lelaki hidung belang dengan babi atau anjing, bisa jadi merupakan maksud pengarang untuk menggambarkan keadaan yang ada di masyarakat saat ini. Dimana manusia tidak lagi menggunakan akal dan pikirannya ketika akan melakukan sesuatu. Dalam cerita kupu-kupu, tanda-tanda kebinatangan manusia digambarkan dengan adanya proses jual beli bayi perempuan untuk dijadikan pelacur. Manusia telah benar-benar kehilangan hakikatnya sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya. Ketika seorang ibu rela menjual anaknya untuk sesuap nasi, maka sifat-sifat kemanusiaannya perlu dipertanyakan.
                   Ketika manusia tidak bisa melawan hawa nafsunya dan cenderung selalu ingin memuaskan birahinya maka manusia tidak lagi memiliki perbedaan dengan binatang. Babi-babi, anjing hutan, serigala tua yang diceritakan sebagai pelanggan tokoh perempuan tidak lagi memikirkan dosa dan perasaan istri-istrinya.

3.      Sembolisasi Peristiwa
Di langit kadang kau temukan keanehan. Selarik putih yang bukan awan, bukan sinar. Seperti garis lintas, yang tak jelas ujung dan asalnya. Ada dan hilang. Bergetar sayu dari jauh, dan mendekat – hingga aku bisa melihat – berjuta kepak sayap kecil. Berkerumun. Berpencar. Lalu luruh seperti keping-keping salju.
Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri ini?
Paragraf di atas merupakan imajinasi tokoh pengarang yang menceritakan langit dan keanehannya. Keanehan yang dimaksud pada paragraf tersebut di atas adalah munculnya sebuah garis berwarna putih yang melintas, bergetar kemudian mendekat. Diksi garis lintas tesebut mungkin ditunjukkan untuk kepak sayap yang ada di kalimat selanjutnya. Jadi keanehan di langit tersebut menggambarkan adanya jutaan kepak sayap yang kemudian jatuh ke bumi. Kepak sayap itu lantas diperjelas dengan munculnya kalimat –Berapa banyakkah kupu-kupu di negeri ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sayap yang dimaksud adalah sayap kupu-kupu.
Simbolisasi peristiwa di atas bisa jadi dimaksudkan untuk menganalogikan kemunculuan para perempuan malam. Seperti yang telah kita kenal di masyarakat, sebutan kupu-kupu malam ditujukan untuk seorang perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Pengarang menggambarkan para perempuan tersebut dilahirkan ke muka bumi untuk menjadi pelacur yang tidak jelas ujung dan asalnya.  Mereka tidak tahu oleh siapa dilahirkan dan tidak tahu kepada siapa akan kembali. Perumpamaan -luruh seperti keping-keping salju- menggambarkan bahwa jumlah pelacur di negeri ini sudah tidak terhitung lagi.
Setiap orang toh harus menjual sesuatu untuk bertahan hidup. Sebagian menjual mimpi, sebagian menjual peluh. Ia menjual mimpi berpeluh. Itu sah saja di dunia di mana setiap orang akan mengambil apa yang mereka butuhkan. Dan ia tak malu, meski tetap akan berdusta. Lebih memalukan bila tak punya apa-apa untuk dijual.
Maksud paragraf di atas ialah pembenaran yang diungkapkan pengarang mengenai seseorang yang harus menjual diri. Menjual diri dalam paragraf tersebut disimbolkan dengan menjual mimpi berpeluh. Menjual mimpi dianggap lebih baik daripada tidak memiliki apapun untuk dijual.
Tapi bila malam mulai turun dan birahi naik, tangan-tangan hitam akan melepaskan kami, menghambur keluar dari celah-celah kota yang sempit dan tak pernah sama. Kenakan topeng kalian, teman. Malam ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur.
Maksud kalimat Tapi bila malam mulai turun dan birahi naik- ialah malam digambarkan sebagai waktu dimana manusia memiliki keinginan lebih untuk memuaskan nafsu seksualnya. Tangan-tangan hitam akan melepaskan kami- Saat malam tiba para perempuan itu akan dipersilahkan keluar untuk bekerja. Malam ini kita berpesta. Kota ini tak pernah tidur, dan selalu ada yang butuh dihibur-. Pengertian berpesta dalam kalimat tersebut bukan merayakan sesuatu dengan jamuan makan atau minum, melainkan melayani para lelaki hidung belang yang membutuhkan hiburan dari perempuan malam.
Dikenakannya sayap yang koyak di tepi, dan terbang. -Sayap yang koyak di tepi bisa diartikan sebagai pakaian yang perempuan itu kenakan untuk bekerja atau semangat yang terpaksa ia tumbuhkan setiap malam hanya untuk bertahan hidup.
Gadis itu melayang dan menari, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Terkepak, meski berat dan basah. Ia menari melintasi jalan layang dan mobil terbang, juga kolong jembatan, lalu berhenti – tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang telanjang.
Paragraf di atas menceritakan saat perempuan tersebut mulai berjalan mencari pelanggan. Berat dan basah- bisa jadi menunjukan sebuah ketidakikhlasan dan kesedihan perempuan tersebut. Lalu berhenti, tersangkut pada cabang-cabang asam kranji yang telanjang. Maksud dari kalimat tersebut bisa jadi menceritakan si perempuan behenti berjalan lalu teringat tentang kehidupannya yang kelam.
Anak nakal, bentaknya, sambil memukuli pantatku. Berkali-kali. Anak nakal, dampratnya, sambil melecuti punggungku. Berkali-kali. Anak nakal, desahnya, sambil menembusiku. Berkali-kali. Dengan mata terpejam dan seringai tanpa gigi. Aku akan pura-pura memohon. Ampun. Ampun. Ia akan segera usai dan jatuh tertidur. Sesudahnya, aku harus menyelimutinya.
Paragraf di atas menceritakan adegan-adegan yang dilakukan si perempuan saat bekerja. Ia harus melayani pelanggannya sebaik mungkin. Ia selalu menuruti apa yang diperintahkan. Hal terpenting adalah ia mendepat upah setelahnya.

4.      Simbolisasi binatang
3.1 Kupu-kupu
Tapi aku bukan anjing, cuma kupu-kupu, dengan sayap sedikit koyak dan warna pelangi. Anjing-anjing tak akan bisa melukaiku. Tidak dengan buntut yang terselip di sela kaki belakang, dan lidah yang selalu terjulur. Aku akan terbang, sebelum mereka sempat menyalak.
Kupu-kupu yang dimaksud pada paragraf tersebut ialah seorang perempuan yang bekerja sebagai pelacur. Hal ini diperkuat dengan pengakuan tokoh aku sebagai berikut.
3.2 Babi-babi
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal babi-babi dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk. Babi-babi akan menyukai apel-apel kecil di dadaku.
Babi-babi itu merupakan sebutan tokoh aku untuk para pelanggannya yang kaya dan rakus.
1.3  Anjing hutan
Tak jauh dari situ, selemparan tulang saja, akan kautemukan rumah-rumah anjing – tersembunyi di balik belukar yang berduri. Hati-hati. Duri-duri itu pernah merobekku, membuatku tak utuh lagi. Kau dengar lolongan itu? Anjing-anjing hutan akan tak sabar menanti saat bermain. Mereka bilang kuda-kudaan. Kubilang, ini anjing-anjingan.
Sama halnya dengan babi, anjing juga merupakan pelanggan tokoh perempuan. Perbedaannya terletak pada tempat tinggal. Babi-babi tinggal di pohon raksasa sedangkan anjing-anjing tinggal di sebuah rumah. Hal tersebut menandakan bahwa anjing-anjing itu tidak lebih kaya dari babi hutan, hanya saja anjing itu lebih berbahaya karena memiliki istri yang bisa melukai si perempuan kapan saja.
3.4 Serigala Tua
Lalu hinggap di sebuah rumah besar tengah hutan. Di sana telah menunggu seekor serigala tua yang telah kehilangan hampir semua giginya.
Serigala tua adalah sebutan bagi pelanggan tokoh perempuan yang sudah tua tetapi sangat kaya. Hal ini diperkuat dengan kalimat yang menceritakan bahwa si perempuan selalu mampu membeli sekeranjang roti dan apel untuk sebulan setelah melayaninya.

5.      Simbolisasi Benda
4.1 Merah, jingga, hijau, dan jambon.
Telah dikenakannya merah pada bibirnya dan jingga pada kedua puluh kuku kaki dan tangannya. Dia memulas hijau pada kelopak mata, juga jambon pada tinggi tulang pipinya.- Kupu-kupu Avianti Armand
Dalam paragraf di atas penulis tidak menggunakan nama objek secara langsung melainkan sifat dari objek itu sendiri. Misalnya diksi merah yang mengacu pada alat kosmetik bernama lipstick, jingga yang mengacu pada kuteks, warna hijau yang mengacu pada blash on, dan diksi jambon yang mengacu pada shadow. Gaya penceritaan tersebut merupakan upaya penulis untuk mempertahankan estetika dan kelirisan bahasa yang sudah dibangun dari awal cerita.
4.2 Apel-apel kecil
Babi-babi akan menyukai apel-apel kecil di dadaku.
Apel-apel kecil yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah puting payudara si perempuan. Hal ini dikarenakan perumpamaan apel tersebut mengarah pada hal-hal berbau seksual.
4.3 Sabun dan sepatu kaca
Kau akan sanggup membeli sabun wangi sesudahnya, dan sepasang sepatu kaca
Sabun wangi dan sepatu kaca memiliki pengertian segala kebutuhan si perempuan untuk menunjang kehidupannya.

2.     Simbolisasi Tokoh
              4.1 Seorang Ibu
              Pada suatu ketika yang mungkin, seorang ibu yang bukan ibunya menarik tubuh mungilnya dari debu. Di matanya ada teduh. Apa maumu, tanya gadis kecil itu. Ibu mengernyit
              Seorang ibu itu merupakan tokoh protagonis yang hadir dalam mimpi si perempuan. Ibu tersebut kemudian mengajarkan banyak hal. Tentang tawa dan lupa misalnya.

              4.2 Peramal Buta
            Ibu tadi menoleh padanya dan menggeleng. Tawa tak selamanya tulus dan lupa akan menggerogotimu. Suatu ketika tawa akan jadi air mata, dan lupa membolongi kepalamu. Tubuhmu akan kosong seperti mayat. Jika terlena, kau takkan bisa kembali. Tapi kau harus berdiri, dan katakan: Aku mau Peramal Buta!
              Dalam cerita sebelumnya, Ibu tersebut menawarkan sebuah sirkus yang akan membuat si perempuan tertawa bahagia. Tapi Ibu itu juga mengingatkan bahwa tawa akan jadi air mata dan lupa akan menggerogotinya. Artinya kebahagiaan hanya akan datang sementara. Setelah itu Ibu tadi meminta si perempuan untuk berteriak tentang peramal buta. Peramal buta diceritakan selalu melihat lebih jernih dari mata. Peramal buta bisa jadi diartikan sebagai perumpamaan dari hati. Hati manusia terkadang selalu tahu mana yang baik dan mana yang salah. Hati juga sesekali bisa menebak sesuatu yang akan terjadi. Mungkin karena itulah penulis mengumpamakan hati dengan peramal buta.  

              4.3 Tangan-tangan hitam
               Aku ingin pergi. Entah dalam gelembung sabun. Entah dengan sapu terbang. Tidak lewat pintu, tentu. Tangan-tangan hitam akan menahanku. Tak boleh pergi, kata mereka, tubuh ini milik kami sejak kamu berupa bayi yang kami beli dengan nasi. Kamu berhutang, tangan-tangan hitam akan berseru. Aku telah membayar dengan tubuhku, protesku. Seumur hidupku.
              Tangan-tangan hitam yang dimaksud penulis ialah orang yang telah membeli si perempuan untuk dijadikan pelacur. Hitam identik dengan kotor dan dosa. Maka penulis menganalogikan para germo dengan tangan-tangan hitam, tangan-tangan yang penuh dengan dosa.
3.     Simbolisasi Alam
5.1 Hutan
Kota ini? Aku menyebutnya: Hutan ini. Lihat, lihat. Awan tersangkut di pucuk-pucuknya dan ribuan kunang-kunang telah terbang. Dengar, dengar, suara-suara purba itu. Binatang-binatang telah bangun dan kini lapar. Aku akan terbang dan singgah di tiap tempat yang menyebut namaku.
Tokoh aku mengumpamakan kota yang ditempatinya sebagai hutan yang pernuh dengan kunang-kunang dan binatang lapar. Ia memilih hutan karena hutan jarang dihuni oleh manusia. Sedang di kota tempat ia tinggal, manusia tak ubahnya seperti binatang, tidak berakal dan berperasaan. Banyak manusia yang rela melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan perut dan duniawinya. 
5.2 Pohon Raksasa
Di pohon-pohon raksasa itu tinggal babi-babi dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk.
Dikarenakan tokoh aku menganggap kota sebagai hutan. Maka rumah-rumah pelanggannya dianalogikan dengan pohon-pohon raksasa.
3.3  Mimpi
              Angin tiba-tiba bertiup, meluruhkan bintang-bintang yang seketika jadi arang begitu menyentuh tanah. Dalam sesaat yang tak sampai dua detik, kudengar namaku disebut. Aku menoleh, dan di depanku, sebuah jalan setapak telah terbentuk. Dengan batu-batu hitam di antara pohon-pohon yang membungkuk.
              Deskripsi yang menggambarkan peristiwa alam itu merupakan mimpi yang dialami tokoh perempuan. Pengarang dengan lihai menggambarkan mimpi dengan fenomena alam yang mustahil terjadi.

E.     Simpulan
             Dalam cerpen ini, pengarang seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa seseorang yang memilih profesi sebagai pelacur tidak sepenuhnya bersalah. Kesalahan berawal dari hilangnya rasa kemanusiaan dan munculnya sifat-sifat kebinatangan dalam diri seseorang. Hal itulah yang menyebabkan tokoh aku harus menjalani kehidupannya yang begitu menyedihkan. Dengan bahasanya yang liris dan satir, pengarang mampu memunculkan empati pembaca kepada tokoh aku. Tokoh yang seakan-akan menjadi korban dan tidak memilki pilihan. Tokoh yang digambarkan sangat anggun bak kupu-kupu terbuang.
              Penulis mampu menghadirkan tema yang maindstream dengan gaya yang berbeda dan berani. Tanda-tanda yang dibuat oleh penulis kerap memunculkan pertanyaan dan membuat pembaca berpikir. Cerpen Kupu-kupu merupakan karya sastra dengan tanda-tanda yang tidak biasa.

2 komentar: